Senin, 17 Juni 2013

Konsep al-Hijr dalam Qs. al-Nisa':5-6

KONSEP AL-HIJR DALAM QUR’AN SURAT
AL-NISA’ AYAT 5-6


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah “ Tafsir Ahkam






Disusun oleh:
Endang Lestari
210210017



Dosen pengampu :
Luthfi Hadi Aminuddin, M.Ag




JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI MU’AMALAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
 2012









PENDAHULUAN

Al-Qur’an adalah sumber hokum yang pertama sebelum as-sunnah yang mana didalamnya banyak terdapat ayat-ayat ahkam yang salah satunya sebagaimana tercover dalam Q.S al-Nisa’ khususnya ayat 5-6 yang secara jelas mempunyai implikasi hokum yaitu tentang kewajiban menjaga harta anak yatim.
Namun demikian untuk mengetahui maupun menggali hokum serta maksud yang terkandung di dalamnya diperlukan ilmu tafsir yang berfungsi untuk menafsirkan ayat tersebut. Salah satunya tujuan adanya penafsiran ayat-ayat al-Qur’an terutama ayat-ayat ahkam yang ada dalam al-Qur’an adalah untuk menegtahui bahwasannya ayat tersebut merupakan  syariat Allah yang  ditujukan untuk umat manusia.
Hal-hal yang perlu diperhatikan sebagai penunjang untuk mempermudah dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an salah satunya yaitu dengan cara mengetahui maksud dari suatu ayat dengan terjemahannya, setelah itu dengan melihat asbabun nuzul serta munasabah. Dalam makalah ini penulis akan membahas “Konsep al-Hijr yang terkandung dalam Q.S al-Nisa’ ayat 5-6” yang secara rinci dalam pembahasan ini yaitu meliputi: Dasar hukum konsep al-Hijr (Q.S al-Nisa’:5-6), munasabah serta kandungan hukum yang tercover dalam Q.S al-Nisa’ ayat 5-6.




















PEMBAHASAN


A.  Ayat dan Terjemahan QS. Al-Nisa’ Ayat 5-6

rلاَ (#qè?÷sè? uä!$ygxÿ¡9$# ãNä3s9ºuqøBr& ÓÉL©9$# Ÿ@yèy_ ª!$# ö/ä3s9 $VJ»uŠÏ% öNèdqè%ãö$#ur $pkŽÏù öNèdqÝ¡ø.$#ur (#qä9qè%ur öNçlm; Zwöqs% $]ùrâ÷ê¨B ÇÎÈ   (#qè=tGö/$#ur 4yJ»tGuŠø9$# #Ó¨Lym #sŒÎ) (#qäón=t/ yy%s3ÏiZ9$# ÷bÎ*sù Läêó¡nS#uä öNåk÷]ÏiB #Yô©â (#þqãèsù÷Š$$sù öNÍköŽs9Î) öNçlm;ºuqøBr& ( Ÿwur !$ydqè=ä.ù's? $]ù#uŽó Î) #·#yÎ/ur br& (#rçŽy9õ3tƒ 4 `tBur tb%x. $|ÏYxî ô#Ïÿ÷ètGó¡uŠù=sù ( `tBur tb%x. #ZŽÉ)sù ö@ä.ù'uŠù=sù Å$rá÷èyJø9$$Î/ 4 #sŒÎ*sù öNçF÷èsùyŠ öNÍköŽs9Î) öNçlm;ºuqøBr& (#rßÍkô­r'sù öNÍköŽn=tæ 4 4xÿx.ur «!$$Î/ $Y7ŠÅ¡ym ÇÏÈ  

Artinya:   (5). dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (6). dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).[1]
Makna mufrodat[2]:

الَّتِى
اَمْوَالَكُمْ
الشُّفَهَاءَ
وَلاَتُؤْتُوْا
Yang
Harta kamu
Orang-orang bodoh/belum sempurna akalnya
Dan jangn kamu serahkan
قِيَامًا
لَكُمْ
اللهُ
جَعَلَ
Pemeliharaan
Bagi kamu
Allah
Menjadikan
وَقُوْلُوْا
وَاكْسُوْهُمْ
فِيْهَا
وَارْزُقُوْهُمْ
Katakanlah
Mereka pakaian
didalam
Mereka belanja

معروفا
قولا
لهم

 Yang baik
perkataan
Kepada mereka

وَبْتَلُوْا
اليَتَمَى
حَتَّى
اِذَا بَلَغُوْا
Dan periksalah
Anak-anak Yatim
Sehingga
Jika mereka mencapai umur
النِّكَاحَ
فَاِنْ اَنَسْتُمْ
مِنْهُمْ
رَشِدًا
Niksh/kawin
Maka jika kalian anggap/melihat
Dari di antara mereka
Cerdas
فَادْفَعُوآ
اِلَيْهِمْ
اَمْوَالَهُمْ
وَلَا
Maka berikanlah


Kepada mereka
Harta-harta mereka
Dan janganlah
تَأْكُلُوْهَآ
اِسْرَافًا
وَبِدَارًا
اَنْ يَكْبَرُوْا
Kalian memakannya
Lenih dari batas
Dan tergesa-gesa
Bahwa mereka besar/dewasa
وَمَنْ كَانَ
غَنِيًّا
فَلْيَسْتَعْفِفْ
وَمَنْ كَانَ
Dan barang siapa adalah ia
Orang kaya/mampu
Maka hendaklah mereka menahan diri
Dan barang siapa adalah ia
فَقِيْرًا
فَلْيَأْ كُلْ
بِالْمَعْرُوْفِ
فَاْذَا دَفَعْتُمْ
Fakir/miskin
Maka boleh ia memakannya
Dengan baik/sepatutnya
Maka apabila kalian menyerahkan
اِلَيْهِمْ
اَمْوَالَهُمْ
فَاشْهِدُوْا
عَلَيْهِمْ
Kepada mereka
Harta-harta mereka
Maka adakan saksi-saksi
Atas mereka
وَكَفَى
بِاللهِ
حَسِيْبًا

Dan cukuplah
Dengan Allah
Mempunyai perhitungan



Tafsir Mufrodat[3]:
الشُّفَهَاءَ bentuk tunggalnya adalah safih, artinya orang yang menyia-nyiakan harta dengan menginfakkanya kepada hal-hal yang tidak semestinya dibeli. Asal katanya as-safah, artinya ringan dan goncang. Berdasarkan pengertian itu, kata Zamanun Safih, apa bila pada zaman tersebut banyak kegoncangan yang terjadi. Kemudian, dikatakan tsaubun safih, artinya pakaian yang jelek tenunannya. Kemudian kata itu dipakai untuk pengertian kurangnya kecerdasan akal dalam mengatur harta. Dan makna inilah yang  dimaksud dalam ayat ini.
 قولا معروفا Perkataan yang enak dirasa oleh jiwa dan membuatnya menjadi penurut. Misalnya memberikan pemahaman kepada orang yang belum bisa tasharuf , bahwa harta itu adalah hartanya, tidak ada seorang pun yang berkuasa atasnya.
فَلْيَسْتَعْفِفْ Hendaknya ia menjaga kehormatannya. Al-iffah, adalah meninggalkan keinginan-keinginan hawa nafsu yang tidak layak dilakukan.

B.  Munasabah
Pada akhir surat al-Imran, Allah memerintahkan umat islam untuk bertaqwa, dan perintah untuk bertaqwa ini dipertegas kembali dalam surat al-Nisa’ khususnya pada ayat 1. Setelah ada perintah agar manusia selalu bertaqwa kepada-Nya dengan  memelihara dan melaksanakan segala apa yang diperintahkan-Nya, serta menghubungkan silaturahmi, maka pada ayat 2 surat al- Nisa’ dan ayat berikutnya yaitu ayat 5-6 Allah memerintahkan untuk menjaga anak harta anak yatim.[4]

C.    Kandungan hukum QS. Al-Nisa’ Ayat 5-6
a.         وَلاَتُؤْتُوْا الشُّفَهَاءَ اَمْوَالَكُمْ الَّتِى جَعَلَ اللهُ لَكُمْ قِيَامًا, Allah mencegah umat islam yang menjadi wali (orang tua asuh) anak-anak yatim dan wali orang-orang safih (belum mampu mengurus hartannya seperti anak nakal, tidak sehat jiwanya, usia lanjut dsb) memberikan atau menyerahkan kembali harta milik mereka itu, jika memang pemberian itu tidak mendatangkan kemaslahatan.[5] Dalam keterangan lain Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sufaha ialah anak dan istrimu, menurut Adh-Dhahaq, sufaha ialah wanita dan anak-anak sedangkan menurut said Bin zubair, yang dimaksud dengan sufaha adalah anak-anak yatim.[6] Dalam ayat inipun ditegaskan bahwasannya ayat ini menyifati harta tersebut sebagai penegak hidup, maksudnya sebagai penghidupan utama untk mempertahankan hidup sehari-hari. Ayat ini juga memberikan pengertian bahwa berhemat dalam menggunakan harta sangat disukai oleh agama.[7] Secara spesifik kandungan dari ayat diatas yaitu:
1.      Wali dilarang menyerahkan harta kepada orang atau anak yang tidak cakap mengelola harta.
2.      Islam mempunyai kepedulian terhadap harta dan tidak menyukai harta dihambur-hamburkan. Karena harta berfungsi
         اصللاح المعاس والنتظام العمورyaitu jaminan perbaikan keberlangsungan hidup dan keteraturan tatanan sosial.
b.        وَارْزُقُوْهُم فِيْهَا وَاكْسُوْهُمْ, Pengertian ar-Rizqu disini mencangkup semua segi pembelanjaan seperti makan, tempat tinggal, kawin,  pakaian. Tetapi yang disebutkan secara khusus hanyalah pakaian karena kebanyakan orang kadang-kadang meremehkan masalah pakaian ini. Dikatakan pula fiha  sebagai syarat yang menunjukkan bahwa harta yang diambil sebagai obyek rizki itu dengan cara mengembangkannya melalui perniagaan, kemudian nafkah yang diberikan kepada mereka adalah keuntungan dari perniagaan tersebut buka dari modal.[8]
c.         وَقُوْلُوْالَهُمْ قَوْلاًمَّعْرُوْفاً, Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kata-kata yang baik yaitu dengan berterus terang bahwa harta itu adalah harta milik mereka . wali hanya memegang dan mentadbir. misalnya dengan ucapan “Ini adalah harta mu, aku hanyalah sebagai penyimpan. Jika kamu sudah besar, harta ini akan aku kembalikan kepada mu.” Tetapi jika yang diasuhnya adalah orang safih, hendaknya sang wali memberikan petuah dan nasehat padanya agar tidak menyia-nyiakan harta dan berlaku boros. Kemudian berilah ia pengertian, bahwa akibat dari pemborosan itu adalah kemiskinan dan yang lain sebagainya. Wali juga berkewajiban mengajari hal-hal yang bisa mengantarkannya menuju kedewasaan. Dengan demikian kondisinya akan lebih membaik dan sifat shafihnya, lambat laun akan hilang dan ia akan tumbuh menjadi orang dewasa  . [9]
a.                        #qè=tGö/$#ur 4yJ»tGuŠø9$# #Ó¨Lym #sŒÎ) (#qäón=t/ yy%s3ÏiZ9$# ÷bÎ*sù Läêó¡nS#uä öNåk÷]ÏiB #Yô©â (#þqãèsù÷Š$$sù öNÍköŽs9Î) öNçlm;ºuqøBr&,
Menguji anak yatim itu dengan cara memberi sedikit harta untuk digunakan sendiri. Apabila ia mempergunakannya dengan baik, berarti ia sudah dewasa. Karena yang dimaksud dewasa disini ialah apabila ia telah mengerti dengan baik cara menggunakan harta benda dan membelanjakannya. Hal itu pertanda ia berakal sehat dan berfikir dengan baik.[10] Sedangkan yang dimaksud dengan sudah cukup umur dan siap untuk menikah, adalah ketika mencapai umur baligh atau sampai siap untuk beristri, yaitu ketika timbul keinginan untuk berumah tangga, dan siap untuk menjadi suami dan memimpin keluarga.[11] Jika kalian merasakan dalam diri mereka terdapat tanda-tanda kedewasaan, maka berikanlah harta mereka. Tentang waktu penyerahan harta anak yatim ulama berbeda pendapat:
1)      Abu Hanifah berpendapat, bahwa memberikan harta anak yatim ialah jika mereka telah mencapai umur 25 tahun, sekalipun belum tampak dewasa (cara berfikirnya).
2)      Secara umum ulama’ sepakat bahwa sebelum wali menyerahkan harta kepada anak yatim, maka anak yatim tersebut harus diuji kecakapannya terlebih dahulu.[12] Ulama berbeda pendapat tentang kecakapan anak yatim. Menurut imam syafi’i, setidaknya harus terpenuhi 2 unsur yaitu baligh dan cerdas. Sedangkan menurut Abu Hanifah, tidak harus cerdas yang penting baligh sudah cukup.

b.        (#rçŽy9õ3tƒbr&#·#yÎ/ur$]ù#uŽó Î)$ydqè=ä.ù's?wur, Janganlah kamu ambil harta anak yatim dan janganlah pula kamu memakan atau mempergunakannya secara boros, tidak efisien dan cepat-cepat menghabiskannya sebelum anak tersebut mencapai umur(janganlah memberikan harta kepada anak yatin secara boros).  Mengenai penggunaan harta anak yatim dengan tidak boros dan tidak cepat-cepat dihabiskan sesebelum anak sampai umur, Allah telah menerangkan hukumnya dengan firmannya, yang artinya,”Barang siapa cukup mampu (diantara kamu), maka hendaklah memelihara diri dari menggunakan harta-harta anak yatim. Dan barang siapa tidak mampu (diantara kamu), maka hendaklah menggunakan secara makruf (sesuai kepentingan dan wajar).[13]

c.            ( Å$rá÷èyJø9$$Î/@ä.ù'uŠù=sù#ZŽÉ)sùb%x.`tBur ô#Ïÿ÷ètGó¡uŠù=sù   $|ÏYxîtb%x.`tBur
Sama dengan keterangan  diatas, diterangkan lebih jelas bahwa maksud dari ayat  ini adalah barang siapa diantara kalian berkecukupan sehingga tidak membutuhkan sesuatu pun dari harta anak yatim yang berada dalam kekuasaannya, hendaknya mencegah diri dari memakan harta tersebut.[14] Ibn Jarir  berkata: para ulama sepakat bahwa harta anak yatim bukanlah harta wali. Oleh karena itu wali tidak boleh memakannya. Yang dibolehkan adalah meminjamnya saat ada keperluan. Boleh juga mengambil sebagai upah dengan kadar yang layak untuk pengurusan dan pelayanan atas harta tersebut.[15]
                
d.        öNÍköŽn=tæöNçlm;ºuqøBr& (#rßÍkô­r'sù  NÍköŽs9Î)NçF÷èsùyŠ#sŒÎ*sù, Jika kamu para wali dan orang-orang yang diberi wasiat menyerahkan harta yang dititipkan kepada kalian kepada anak-anak yatim, maka adakanlah kesaksian dalam serah terima dan pembebasan tanggunganmu atas harta tersebut, agar kelak tidak terjadi persengketaan diantara kalian yang bersangkutan. Kesaksian itu menurut madzhab imam syafi’i dan maliki, hukumnya wajib. Sebab mengabaikan hal itu akan membuka pintu persengketaan dan peradilan seperti banyak kita saksikan. Sedangkan madzhab hanafiah berpendapat hanya sunah saja bukan wajib.[16]
e.         $Y7ŠÅ¡ym «!$$Î/ xÿx.ur, Allah cukup menjadi pengawas atas perbuatanmu, yang akan menbuat perhitungan terhadap apa yang kau rahasiakan dan apa yang kau lahirkan. Karena itu perhatikanlah dia karena tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi-Nya, baik yang dibumi atau dilangit.[17]










KESIMPULAN
A.      Q.S al-Nisa’ ayat 5-6


rلاَ (#qè?÷sè? uä!$ygxÿ¡9$# ãNä3s9ºuqøBr& ÓÉL©9$# Ÿ@yèy_ ª!$# ö/ä3s9 $VJ»uŠÏ% öNèdqè%ãö$#ur $pkŽÏù öNèdqÝ¡ø.$#ur (#qä9qè%ur öNçlm; Zwöqs% $]ùrâ÷ê¨B ÇÎÈ   (#qè=tGö/$#ur 4yJ»tGuŠø9$# #Ó¨Lym #sŒÎ) (#qäón=t/ yy%s3ÏiZ9$# ÷bÎ*sù Läêó¡nS#uä öNåk÷]ÏiB #Yô©â (#þqãèsù÷Š$$sù öNÍköŽs9Î) öNçlm;ºuqøBr& ( Ÿwur !$ydqè=ä.ù's? $]ù#uŽó Î) #·#yÎ/ur br& (#rçŽy9õ3tƒ 4 `tBur tb%x. $|ÏYxî ô#Ïÿ÷ètGó¡uŠù=sù ( `tBur tb%x. #ZŽÉ)sù ö@ä.ù'uŠù=sù Å$rá÷èyJø9$$Î/ 4 #sŒÎ*sù öNçF÷èsùyŠ öNÍköŽs9Î) öNçlm;ºuqøBr& (#rßÍkô­r'sù öNÍköŽn=tæ 4 4xÿx.ur «!$$Î/ $Y7ŠÅ¡ym ÇÏÈ  

B.       Munasabah
Pada akhir surat al-Imran, Allah memerintahkan umat islam untuk bertaqwa, dan perintah untuk bertaqwa ini dipertegas kembali dalam surat al-Nisa’ khususnya pada ayat 1. Setelah ada perintah agar manusia selalu bertaqwa kepada-Nya dengan  memelihara dan melaksanakan segala apa yang diperintahkan-Nya, serta menghubungkan silaturahmi, maka pada ayat 2 dan ayat berikutnya yaitu ayat 5-6 Allah memerintahkan untuk menjaga anak harta anak yatim.

C.      Kandungan hukum Q.S al-Nisa’
·      Kandungan secara global dari QS. Al-Nisa’  pada ayat 5:
1.    Dilarang menyerahkan harta anak yatim selama dia masih dalam keadaan belum dapat mengelola harta dengan baik meskipun ia telah baligh.
2.    Jika orang tua dari anak itu meninggal, maka hendaknya pengelola harta tersebut mengelola dan mengembangkan harta tersebut. Kemudian keuntungannya menjadi hak anak tersebut.
3.    Wajib bagi para wali untuk menyampaikan kepada orang yang dalam pengampuannya bahwa biaya hidup mereka diambil dari harta mereka sendiri an bahwa suatu saat harta itu akan diserahkan kepadanya secara keseluruhan.
·      . Kandungan secara global dari QS. Al-Nisa’  pada ayat 6:
4.    Jika anak yatim telah dewasa, maka untuk dapat menyerahkan harta tersebut  wali wajib menguji terlebih dahulu kecakapannya/kecerdasannya dalam mengelola harta.
5.    Harus ada saksi yang menyaksikan serah terima harta anak yatim.
6.    Bagi wali yang mampu, dilarang ikut memakan harta anak yatim. Sedangkan bagi yang tidak mampu diperkenankan mengambil harta tersebut sekedar keperluan dan tidak berlebihan.



DAFTAR PUSTAKA


Al-Maraghy, Ahmad Mustofa. Tafsir Al-Maraghy juz IV. Semarang: Toha Putra, 1990.
Ar Rifa’i, Muhammad Nasib. Tafsir Ibn Katsir. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Tafsir Al-Qur’An-Nur Juz IV. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000.
Departemen Agama RI.  Al-Qur’an Bayan. Jakarta :Al-Qur’an Terkemuka, 2009
Departemen Agama RI. al-Qur’an  dan Tafsirnya. Jakarta: Departeman Agama RI, 2009.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an Terjemah per kata. Jakarta : Darus Sunah, 2011.



[1] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Bayan (Jakarta :Al-Qur’an Terkemuka, 2009), 77.
[2] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah per kata (Jakarta : Darus Sunah, 2011), 116-119.
[3] Ahmad Mustofa Al-Maraghy, Tafsir Al-Maraghy juz IV (Semarang: Toha Putra, 1990), 334-335.
[4] Departemen Agama RI, al-Qur’an  dan Tafsirnya (Jakarta: Departeman Agama RI, 2009), 118.
[5] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’An-Nur Juz IV (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), 783.
[6] Ar Rifa’i, Muhammad Nasib, Tafsir Ibn Katsir (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 652.
[7] Teungku, Majid An-Nuur,784.
[8] Ahmad Mustofa Al-Maraghy, Tafsir Al-Maraghy juz IV , 339.
[9] Ar Rifa’i, Tafsir Ibn Katsir,653.
[10] Musthofa, al-Maraghy,340.
[11] Teungku, Majid An-Nuur,785.
[12] Ibid.
[13] Teungku, Majid An-Nuur,786.
[14] Musthofa, al-Maraghy,342.
[15] Teungku, Majid An-Nuur,786.
[16] Ibid, 343.
[17] Teungku, Majid An-Nuur,787.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar