TEORI EKONOMI
PENDAHULUAN
Setelah kita mempelajari teori permintaan pada bab sebelumnya, maka
disini kami akan membahas lebih jauh tentang masalah produksi. Yang mana kegiatan
produksi merupakan mata rantai yang terkait dengan kegiatan ekonomi yang lain seperti: konsumsi,
distribusi, maupun investasi. Dalam pengertian sederhana, produksi berarti
menghasilkan barang atau jasa. Sedangkan menurut ilmu ekonomi, pengertian ekonomi
adalah kegiatan menghasilkan barang maupun jasa atau kegiatan menambah nilai
kegunaan atau manfaat suatu barang. Selain itu kegiatan produksi juga mempunyai
tujuan diantaranya yaitu: menghasilkan barang atau jasa, meningkatkan nilai
guna barang atau jasa, memperluas lapangan usaha, serta untuk meningkatkan
kemakmuran masyarakat. Berdasarkan pengertian dan tujuan dari kegiatan produksi
tentunya manusia berusaha apa yang merupakan kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi
secara baik atau mendekati kemakmuran. Dalam islam, setiap orang dituntut untuk
mengerahkan seluruh potensinya untuk
melakukan kerja yang produktif, dan
selama seseorang masih mampu bekerja (salah satu kegiatan produksi) bukan saja
dianjurkan tetapi dijadikan sebagai kewajiban relegius. Oleh karena itu kerja
adalah salah satu bentuk upaya manusia dalam rangka mendapatkan kepemilikan
yang menjadikan hak milik pribadi yang dihormati.
Dan untuk lebih jelasnya lagi, di sini kami akan membahas lebih
lanjut tentang masalah produksi, diantaranya
yaitu tentang produksi dalam
pandangan islam, serta prinsip-prinsip produksi dalam ekonomi islam, perilaku
produsen dan faktor-faktor produksi.
PEMBAHASAN
A.
Produksi Dalam Pandangan Islam
Pemahaman produksi dalam islam memiliki arti sebagai bentuk usaha
keras dalam pengembangan faktor-faktor sumber yang diperbolehkan dan melipat gandakan
income dengan tujuan kesejahteraan masyarakat, menopang eksistensi serta
ketinggian derajad manusia.[1]
Sedangkan prinsip dasar ekonomi islam adalah keyakinan pada Allah SWT. Sebagai Rabb
dari alam semesta. [2]
Rabb, yang sering diterjemahkan ”Tuhan” dalam bahasa indonesia, memiliki
makna yang sangat luas, mencangkup antara lain pemelihara (al-murobbi),
penolong (al-nashir), pemilik (al-malik) dll. Konsep ini bermakna
bahwa ekonomi islam berdiri diatas kepercayaan bahwa Allah adalah satu-satunya
pencipta, pemilik dan pengendali alam raya yang dengan takdir-NYA menghidupkan,
mematikan serta mengendalikan alam dengan ketetapan-NYA (Sunatullah).[3]
Dengan keyakinan akan peran dan kepemilikan absolut dari Allah Rabb
semesta alam, maka konsep produksi dalam ekonomi islam tidak semata-mata
bermotif maksimalisasi keuntungan dunia, tetapi lebih penting untuk mencapai maksimalisasi
keuntungan akhirat. Sebagaimana diterangkan pada QS. al-Qashash:77, ayat ini
mengingatkan manusia untuk mencari kesejahteraan akhirat tanpa melupakan urusan
dunia. Artinya, urusan dunia merupakan sarana untuk memperoleh kesejahteraan
akhirat.[4]
B.
Prinsip-prinsip produksi dalam ekonomi islam
Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW. Memberikan arahan mengenai
prinsip-prinsip produksi sebagai berikut:
1.
Tugas
manusia dimuka bumi adalah sebagai kholifah Allah
yaitu memakmurkan bumi dan amalannya.
2.
Islam
selalu mendorong kemajuan dibidang produksi.
3.
Tehnik
produksi diserahkan pada keinginan danm kemampuan manusia. Nabi pernah
bersabda: “kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian”.
4.
Dalam
berinovasi dan bereksperimen, pada prinsipnya
agama islam menyukai kemudahan, menghindari mudharat dan memaksimalkan manfaat.[5]
C.
Perilaku Produsen
Muslim
1.
Motif
dan Tujuan Produsen Muslim
Fungsi manusia sebagai kholifah dibumi mempunyai implikasi bahwa
manusia boleh memilki dan menguasai sumber daya yang terdapat didalamnya dalam
cara mengupayakannya dalam bentuk bekerja. Dalam bekerja tersebut harus
berpegang pada aturan yang ditetapkan oleh Allah agar prinsip bertanggung jawab
baik kepada pihak lain didunia maupun kepada Allah yang memberikan mandat
diakhirat. Islam pun menganggap kerja sebagai cara yang paling utama untuk
mencari rizki dan merupakan tiang utama produksi.[6]
Dengan demikian maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa motif bekerja (berproduksi) dalam islam
adalah:
a)
Memenuhi
anjuran agama (ibadah), karena islam sangat mengutuk tindakan menganggur.
b)
Memenuhi
kebutuhan untuk mencapai derajat yang mulia (keuntungan dunia dan akhirat).[7]
c)
Menegakkan
fungsi sebagai duta Allah (kholifah) dimuka bumi dan semangat kerja sama
antar manusia.
d)
Keyakinan
bahwa Allah menciptakan dunia bagi manusia dengan tujuan agar manusia dapat
memakmurkan dan mengambil manfaatnya.[8]
2.
Norma
dan Etika Produsen Muslim
Masalah norma dan etika yang harus
dipengang oleh produsen muslim, para ulama dan pemikir islam berbeda pendapat.
Namun semua mengerucut pada suatu kaidah yaitu:”segala sesuatu yang berhubungan dengan muamalah adalah boleh kecuali
ada dalil yang mengharamkannya.” Artinya produsen diberikan kebebasan untuk
melakukan segala aktivitas produksi selama tidak menyimpang dari aturan syara’.[9]
Sama halnya dengan prilaku konsumen
muslim, perilaku produsen muslim harus tetap mengacu pada prinsip dan
karakteristik ekonomi islam. Menurut Ely Maskuroh, dalam bukunya beliau
merumuskan norma dan etika yang harus dipegang dalam aktifitas produksi seorang
muslim adalah mengacu pada prinsip nilai:
a.
Kebebasan
berusaha dalam lingkaran halal. Hal ini berarti bahwa seorang produsen muslim diberi kebebasan berusaha selaku
kholifah dalam bentuk produktifitas apa saja selama output yang dihasilkan
mempunyai nilai manfaat atau maslahah bagi konsumen yang menikmati baik lahir
maupun batin.
b.
Self and social Oriented. Jika
seorang produsen mempunyai tujuan untuk memperoleh tingkat keuntungan individu
dan social, dalam bentuk kerjasama yang di benarkan syara’ dimana disana
terdapat pembagian keuntungan bagi pihak-pihak yang terkait dalam
usaha.
c.
Konsep Sustainable and Development yaitu
dimana perilaku konsumen muslim harus berpengang pada nilai kesinambungan dan
perkembangan.
d.
Pertanggungjawaban
dunia dan akhirat. Nilai yang terkandung dalam Responsibility disini berarti bahwa aktifitas produksi atau
produsen muslim dalam seluruh aktivitasnya, menyangkut perlakuan terhadap
faktor produksi dengan penetapan konpensasi yang adil baik dalam penetapan upah
tenaga kerja maupun penetapan harga dan juga laba, keshahihan produknya.[10]
D.
Faktor-Faktor produksi
1.
Sumber
Daya Alam
Pada dasarnya alam dan tenaga kerja
merupakan faktor produksi asli, yang hakekatnya tidak sama dengan modal yang
didapat dari aktivitas tenaga kerja dan sumber daya alam. Alam yang mencakup
segala isinya diperuntukan kepada manusia untuk dikelola dengan baik dan benar,
selain sebagai anugrah juga merupakan amanah yang wajib dijaga, serta ujian
bagi manusia.[11]
Yang termasuk kekayaan alam
meliputi:
a.
Tanah
dan keadaan iklim
b.
Kekayaan
hutan
c.
Kekayaan
dibawah tanah(bahan pertambangan)
d.
Kekayaan
Air, sebagai sumber tenaga penggerak, untuk pengangkutan, sebagai sumber bahan
makanan(perikanan), sebagai sumber pengairan.[12]
2.
Tenaga
Kerja (SDM)
Yang termasuk tenaga kerja yaitu semua yang bersedia dan sanggup
bekerja. Berdasarkan Umur tenaga kerja dibagi menjadi 3 yaitu:
a.
Penduduk
dibawah usia kerja: dibawah 15 tahun.
b.
Golongan
antara 15-64 tahun.
c.
Golongan
yang sebenarnya sudah melebihi umur kerja, diatas 64 tahun.
Berdasarkan
tingkatannya (kualitasnya) terbagi menjadi tiga:
a.
Tenaga
kerja terdidik, yaitu tenaga kerja yang memperoleh pendidikan baik formal
maupun nonformal. Contoh: Guru, dokter dll.
b.
Tenaga
kerja terlatih, yaitu tenaga kerja yang memperoleh keahlian berdasarkan latihan
dan pengalaman. Contoh: montir, tukang kayu.
c.
Tenaga
kerja tak terdidik dan tak terlatih, yaitu tenaga kerja yang mengandalkan
kekuatan jasmani daripada rohani. Contohnya: tenaga kuli pikul, tukang sapu
dll.[13]
3.
Modal
Menurut pengertian
Ekonomi adalah barang atau hasil produksi yang digunakan untuk menghasilkan
produk lebih lanjut. Misalkan, orang membuat jala
untuk mencari ikan. Dalam hal ini jala merupakan Barang modal, karena jala
merupakan hasil produksi yang digunakan untuk menghasilkan produk lain (ikan).[14]
Modal dibedakan menjadi dua:
a. Modal Finansial. Produksi dengan menggunakan modal jenis ini tampak
dalam beberapa criteria:
1. Terdapat dua orang yang mengadakan kerjasama dalam bentuk penggabungan
modal bersama.
2. Terjadi pengabungan modal dan tenaga.
3. Terjadi penggabungan modal, namun pelaksana investasi hanya dipercayakan
kepada salah seorang saja.
4. Tenaga dua orang yang sepakat melakukan usaha bersama, dengan modal
hanya berasal dari salah satu pihak saja.
5. Seseorang yang memiliki sejumlah harta kemudian dikembangkan dengan
melakukan jual beli.
b. Modal Barang. Berasal dari seseorang yang bekerja dan mempunyai kekayaan
berupa alat-alat dan barang-barang tertentu.[15]
Modal dapat dibedakan menurut:
a. Kegunaan dalam proses produksi
1. Modal tetap adalah barang-barang
modalyang dapat digunakan berkali-kali dalam proses produksi. Contoh: gedung,
mesin-mesin pabrik.
2. Modal
lancar adalah barang-barang modal yang habis sekali pakai dalam proses
produksi. Contoh: bahan baku.
b. Bentuk modal
1. Modal konkret(nyata) adalah modal yang dapat dilihat secara dalam proses
produksi. Contoh: mesin, bahan baku, gedung pabrik.
2. Modal abstrak(tidak nyata) adalah modal yang tidak dapat dilihat tetapi
mempunyai nilai dalam perusahaan. Contoh: nama baik perusahan dan merek produk.
[16]
4.
Management
Management dalam perkembangannya juga dapat dikatakan sebagai bentuk
keahlian dan turunan dari factor tenaga kerja karena didalamnya mengandung
nilai yang dianjurkan dalam islam.
Keberadaan management dalam suatu aktivitas sangat diperlukan jika
mengharapkan suatu peningkatan hasil produksi secara efektif dan efisiensi.
Salah satu unsur penting dalam management adalah perlunya seorang
manager(pimpinan) dalam suatu pekerjaan. Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa
Nabi Muhammad SAW mengingatkan bahwa, apabila tiga orang muslim mengadakan
perjalanan, maka harus meilih satu orang diantara mereka sebagai pemimpin untuk
bertindak mengatur segala sesuatu dalam perjalanan tersebut.Hadits ini menurut
Syaukani berlaku bagi segala bentuk pekerjaan atau usaha.[17]
5.
Teknologi
Merupakan ilmu tentang cara menerapkan sains untuk memanfaatkan alam
bagi kesejahteraan dan kenyamanan manusia.
Landasn teoritik sekaligus yuridis yang mendukung gagasan teknologi
dijadikan sebagai factor produksi adalah merujuk pada kandungan al-Qur’an yang
menepatkan uregensi penguasaan ilmu pengetahuan demi pemanfaatan sumber daya
alam yang tersedia.
Gagasan al-Qu’an dalam surat ar-Rahman:33 dan al-Jasiyah:11 melahirkan
dua konsep pemikiran tentang teknologi:
1. Pada tataran teoritis normative penempatan teknologi sebagai factor
produksi dapat menciptkan kemaslahatan manusia yang sesuai dengan maqasid as-Syariyah karena terciptanya
efisiensi alam kegiatan produksi.
2. Pada tataran praktis, penggunaan teknologi sebagai faktor pokok produksi
dapat mengatasi masalah kelangkaan relative sumber daya ekonomi.[18]
KESIMPULAN
1.
Produksi
Dalam Pandangan Islam
Produksi dalam
islam memiliki arti sebagai bentuk usaha keras dalam pengembangan faktor-faktor
sumber yang diperbolehkan dan melipat gandakan
income dengan tujuan kesejahteraan masyarakat, menopang eksistensi serta
ketinggian derajad manusia.
2. Prinsip-prinsip produksi dalam ekonomi islam
Sesuai dalam al-Qur’an dan dan Hadist Rasullah.yang
memberikan arahan mengenai prinsip-prinsip produksi:
a) Manusia sebagai khalifahan
b) Islam selalu mendorong kemajuan di bidang produksi
c) Teknik produksi diserahkan pada keinginan dan kemampuan manusia
d) Agama islam menyukai kemudahan, menghindari kemudaratan dan
memaksimalkan manfaat.
3.
Perilaku
Produsen Muslim
a. Motif dan Tujuan Produsen Muslim
b.
Norma
dan Etika Produsen Muslim
4.
Faktor-Faktor
produksi
a.
Sumber
Daya Alam
b.
Tenaga kerja (SDM)
c.
Modal
d.
Management
e.
Teknologi
[1] Abdullah Abdul
Husain at-Tariqi, Terj. M. Irfan Syofwani, Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar dan
Tujuan (Yogyakarta: Magistra Insania Press,2004), 159.
[2] Mustafa Adwin
Nasution, pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (jakarta: Kencana, 2007), 104.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[6] Ely Masykurah,
Pengantar Teori Ekonomi(Ponorogo: STAIN Ponorogo Press,2008), 194-195
[7] Ibid.
[8] Abdullah, Ekonomi,
163-167
Tidak ada komentar:
Posting Komentar