KONSEP AL-HIJR DALAM QUR’AN SURAT
AL-NISA’ AYAT 5-6
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah “ Tafsir Ahkam “

Disusun oleh:
Endang Lestari
210210017
Dosen pengampu :
Luthfi Hadi Aminuddin, M.Ag
JURUSAN
SYARI’AH
PROGRAM STUDI MU’AMALAH
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2012
PENDAHULUAN
Al-Qur’an
adalah sumber hokum yang pertama sebelum as-sunnah yang mana didalamnya banyak
terdapat ayat-ayat ahkam yang salah satunya sebagaimana tercover dalam Q.S al-Nisa’
khususnya ayat 5-6 yang secara jelas mempunyai implikasi hokum yaitu tentang
kewajiban menjaga harta anak yatim.
Namun
demikian untuk mengetahui maupun menggali hokum serta maksud yang terkandung di
dalamnya diperlukan ilmu tafsir yang berfungsi untuk menafsirkan ayat tersebut.
Salah satunya tujuan adanya penafsiran ayat-ayat al-Qur’an terutama ayat-ayat
ahkam yang ada dalam al-Qur’an adalah untuk menegtahui bahwasannya ayat
tersebut merupakan syariat Allah
yang ditujukan untuk umat manusia.
Hal-hal
yang perlu diperhatikan sebagai penunjang untuk mempermudah dalam penafsiran
ayat-ayat al-Qur’an salah satunya yaitu dengan cara mengetahui maksud dari
suatu ayat dengan terjemahannya, setelah itu dengan melihat asbabun nuzul serta
munasabah. Dalam makalah ini penulis akan membahas “Konsep al-Hijr yang terkandung dalam Q.S al-Nisa’ ayat 5-6” yang
secara rinci dalam pembahasan ini yaitu meliputi: Dasar hukum konsep al-Hijr
(Q.S al-Nisa’:5-6), munasabah serta kandungan hukum yang tercover dalam Q.S al-Nisa’
ayat 5-6.
PEMBAHASAN
A. Ayat dan Terjemahan QS. Al-Nisa’ Ayat 5-6
rلاَ (#qè?÷sè?
uä!$ygxÿ¡9$#
ãNä3s9ºuqøBr&
ÓÉL©9$#
Ÿ@yèy_
ª!$#
ö/ä3s9
$VJ»uŠÏ%
öNèdqè%ã—ö‘$#ur
$pkŽÏù
öNèdqÝ¡ø.$#ur
(#qä9qè%ur
öNçlm;
Zwöqs%
$]ùrâ÷ê¨B
ÇÎÈ (#qè=tGö/$#ur
4’yJ»tGuŠø9$#
#Ó¨Lym
#sŒÎ)
(#qäón=t/
yy%s3ÏiZ9$#
÷bÎ*sù
Läêó¡nS#uä
öNåk÷]ÏiB
#Y‰ô©â‘
(#þqãèsù÷Š$$sù
öNÍköŽs9Î)
öNçlm;ºuqøBr&
( Ÿwur
!$ydqè=ä.ù's?
$]ù#uŽó Î)
#·‘#y‰Î/ur
br&
(#rçŽy9õ3tƒ
4 `tBur
tb%x.
$|‹ÏYxî
ô#Ïÿ÷ètGó¡uŠù=sù
( `tBur
tb%x.
#ZŽÉ)sù
ö@ä.ù'uŠù=sù
Å$rá÷èyJø9$$Î/
4 #sŒÎ*sù
öNçF÷èsùyŠ
öNÍköŽs9Î)
öNçlm;ºuqøBr&
(#r߉Íkôr'sù
öNÍköŽn=tæ
4 4‘xÿx.ur
«!$$Î/
$Y7ŠÅ¡ym
ÇÏÈ
Artinya: (5). dan janganlah kamu
serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada
dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka
belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka
kata-kata yang baik. (6). dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur
untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai
memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah
kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu)
tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara
pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak
yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu
menurut yang patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka
hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan
cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).[1]
الَّتِى
|
اَمْوَالَكُمْ
|
الشُّفَهَاءَ
|
وَلاَتُؤْتُوْا
|
Yang
|
Harta kamu
|
Orang-orang bodoh/belum sempurna akalnya
|
Dan jangn kamu serahkan
|
قِيَامًا
|
لَكُمْ
|
اللهُ
|
جَعَلَ
|
Pemeliharaan
|
Bagi kamu
|
Allah
|
Menjadikan
|
وَقُوْلُوْا
|
وَاكْسُوْهُمْ
|
فِيْهَا
|
وَارْزُقُوْهُمْ
|
Katakanlah
|
Mereka pakaian
|
didalam
|
Mereka belanja
|
|
معروفا
|
قولا
|
لهم
|
|
Yang baik
|
perkataan
|
Kepada mereka
|
وَبْتَلُوْا
|
اليَتَمَى
|
حَتَّى
|
اِذَا
بَلَغُوْا
|
Dan
periksalah
|
Anak-anak
Yatim
|
Sehingga
|
Jika
mereka mencapai umur
|
النِّكَاحَ
|
فَاِنْ
اَنَسْتُمْ
|
مِنْهُمْ
|
رَشِدًا
|
Niksh/kawin
|
Maka jika
kalian anggap/melihat
|
Dari di
antara mereka
|
Cerdas
|
فَادْفَعُوآ
|
اِلَيْهِمْ
|
اَمْوَالَهُمْ
|
وَلَا
|
Maka berikanlah
|
Kepada
mereka
|
Harta-harta
mereka
|
Dan
janganlah
|
تَأْكُلُوْهَآ
|
اِسْرَافًا
|
وَبِدَارًا
|
اَنْ يَكْبَرُوْا
|
Kalian
memakannya
|
Lenih dari
batas
|
Dan
tergesa-gesa
|
Bahwa
mereka besar/dewasa
|
وَمَنْ
كَانَ
|
غَنِيًّا
|
فَلْيَسْتَعْفِفْ
|
وَمَنْ
كَانَ
|
Dan barang
siapa adalah ia
|
Orang
kaya/mampu
|
Maka
hendaklah mereka menahan diri
|
Dan barang
siapa adalah ia
|
فَقِيْرًا
|
فَلْيَأْ كُلْ
|
بِالْمَعْرُوْفِ
|
فَاْذَا
دَفَعْتُمْ
|
Fakir/miskin
|
Maka boleh
ia memakannya
|
Dengan baik/sepatutnya
|
Maka
apabila kalian menyerahkan
|
اِلَيْهِمْ
|
اَمْوَالَهُمْ
|
فَاشْهِدُوْا
|
عَلَيْهِمْ
|
Kepada
mereka
|
Harta-harta
mereka
|
Maka
adakan saksi-saksi
|
Atas
mereka
|
وَكَفَى
|
بِاللهِ
|
حَسِيْبًا
|
|
Dan
cukuplah
|
Dengan
Allah
|
Mempunyai
perhitungan
|
|
Tafsir Mufrodat[3]:
الشُّفَهَاءَ bentuk tunggalnya
adalah safih, artinya orang yang menyia-nyiakan harta
dengan menginfakkanya kepada hal-hal yang tidak semestinya dibeli. Asal katanya
as-safah, artinya ringan dan goncang. Berdasarkan pengertian itu, kata Zamanun
Safih, apa bila pada zaman tersebut banyak kegoncangan yang terjadi.
Kemudian, dikatakan tsaubun safih, artinya pakaian yang jelek tenunannya.
Kemudian kata itu dipakai untuk pengertian kurangnya kecerdasan akal dalam
mengatur harta. Dan makna inilah yang
dimaksud dalam ayat ini.
قولا
معروفا Perkataan
yang enak dirasa oleh jiwa dan membuatnya menjadi penurut. Misalnya memberikan
pemahaman kepada orang yang belum bisa tasharuf , bahwa harta itu adalah
hartanya, tidak ada seorang pun yang berkuasa atasnya.
فَلْيَسْتَعْفِفْ Hendaknya ia menjaga kehormatannya. Al-iffah, adalah
meninggalkan keinginan-keinginan hawa nafsu yang tidak layak dilakukan.
B. Munasabah
Pada akhir surat al-Imran, Allah
memerintahkan umat islam untuk bertaqwa, dan perintah untuk bertaqwa ini
dipertegas kembali dalam surat al-Nisa’ khususnya pada ayat 1. Setelah ada
perintah agar manusia selalu bertaqwa kepada-Nya dengan memelihara dan melaksanakan segala apa yang
diperintahkan-Nya, serta menghubungkan silaturahmi, maka pada ayat 2 surat al-
Nisa’ dan ayat berikutnya yaitu ayat 5-6 Allah memerintahkan untuk menjaga anak
harta anak yatim.[4]
C.
Kandungan hukum QS.
Al-Nisa’ Ayat 5-6
a.
وَلاَتُؤْتُوْا
الشُّفَهَاءَ اَمْوَالَكُمْ الَّتِى جَعَلَ اللهُ لَكُمْ قِيَامًا, Allah mencegah umat islam yang menjadi wali (orang tua asuh)
anak-anak yatim dan wali orang-orang safih (belum mampu mengurus hartannya
seperti anak nakal, tidak sehat jiwanya, usia lanjut dsb) memberikan atau
menyerahkan kembali harta milik mereka itu, jika memang pemberian itu tidak
mendatangkan kemaslahatan.[5]
Dalam keterangan lain Ibnu Abbas
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sufaha ialah anak dan istrimu, menurut Adh-Dhahaq, sufaha ialah wanita dan
anak-anak sedangkan menurut said Bin
zubair, yang dimaksud dengan sufaha adalah anak-anak yatim.[6] Dalam
ayat inipun ditegaskan bahwasannya ayat ini menyifati harta tersebut sebagai
penegak hidup, maksudnya sebagai penghidupan utama untk mempertahankan hidup
sehari-hari. Ayat ini juga memberikan pengertian bahwa berhemat dalam
menggunakan harta sangat disukai oleh agama.[7]
Secara spesifik kandungan dari ayat diatas yaitu:
1.
Wali
dilarang menyerahkan harta kepada orang atau anak yang tidak cakap mengelola
harta.
2.
Islam
mempunyai kepedulian terhadap harta dan tidak menyukai harta
dihambur-hamburkan. Karena harta berfungsi
اصللاح المعاس والنتظام العمورyaitu
jaminan perbaikan keberlangsungan hidup dan keteraturan tatanan sosial.
b.
وَارْزُقُوْهُم
فِيْهَا وَاكْسُوْهُمْ,
Pengertian ar-Rizqu disini mencangkup
semua segi pembelanjaan seperti makan, tempat tinggal, kawin, pakaian. Tetapi yang disebutkan secara khusus
hanyalah pakaian karena kebanyakan orang kadang-kadang meremehkan masalah
pakaian ini. Dikatakan pula fiha sebagai syarat yang menunjukkan bahwa harta
yang diambil sebagai obyek rizki itu dengan cara mengembangkannya melalui
perniagaan, kemudian nafkah yang diberikan kepada mereka adalah keuntungan dari
perniagaan tersebut buka dari modal.[8]
c.
وَقُوْلُوْالَهُمْ
قَوْلاًمَّعْرُوْفاً, Dalam hal ini,
yang dimaksud dengan kata-kata yang baik yaitu dengan berterus terang bahwa
harta itu adalah harta milik mereka . wali hanya memegang dan mentadbir.
misalnya dengan ucapan “Ini adalah harta mu, aku hanyalah sebagai penyimpan.
Jika kamu sudah besar, harta ini akan aku kembalikan kepada mu.” Tetapi jika
yang diasuhnya adalah orang safih, hendaknya sang wali memberikan petuah dan
nasehat padanya agar tidak menyia-nyiakan harta dan berlaku boros. Kemudian
berilah ia pengertian, bahwa akibat dari pemborosan itu adalah kemiskinan dan
yang lain sebagainya. Wali juga berkewajiban mengajari hal-hal yang bisa
mengantarkannya menuju kedewasaan. Dengan demikian kondisinya akan lebih
membaik dan sifat shafihnya, lambat laun akan hilang dan ia akan tumbuh
menjadi orang dewasa . [9]
a.
#qè=tGö/$#ur
4’yJ»tGuŠø9$#
#Ó¨Lym
#sŒÎ)
(#qäón=t/
yy%s3ÏiZ9$#
÷bÎ*sù
Läêó¡nS#uä
öNåk÷]ÏiB
#Y‰ô©â‘
(#þqãèsù÷Š$$sù
öNÍköŽs9Î)
öNçlm;ºuqøBr&,
Menguji anak yatim itu
dengan cara memberi sedikit harta untuk digunakan sendiri. Apabila ia
mempergunakannya dengan baik, berarti ia sudah dewasa. Karena yang dimaksud
dewasa disini ialah apabila ia telah mengerti dengan baik cara menggunakan
harta benda dan membelanjakannya. Hal itu pertanda ia berakal sehat dan
berfikir dengan baik.[10] Sedangkan
yang dimaksud dengan sudah cukup umur dan siap untuk menikah, adalah ketika
mencapai umur baligh atau sampai siap untuk beristri, yaitu ketika timbul
keinginan untuk berumah tangga, dan siap untuk menjadi suami dan memimpin
keluarga.[11]
Jika kalian merasakan dalam diri mereka terdapat tanda-tanda kedewasaan, maka
berikanlah harta mereka. Tentang waktu penyerahan harta anak yatim ulama
berbeda pendapat:
1)
Abu
Hanifah berpendapat, bahwa memberikan harta anak yatim
ialah jika mereka telah mencapai umur 25 tahun, sekalipun belum tampak dewasa
(cara berfikirnya).
2)
Secara umum ulama’ sepakat bahwa sebelum wali menyerahkan harta kepada
anak yatim, maka anak yatim tersebut harus diuji kecakapannya terlebih dahulu.[12]
Ulama berbeda pendapat tentang kecakapan anak yatim. Menurut imam syafi’i,
setidaknya harus terpenuhi 2 unsur yaitu baligh dan cerdas. Sedangkan menurut Abu
Hanifah, tidak harus cerdas yang penting baligh sudah cukup.
b.
(#rçŽy9õ3tƒbr&#·‘#y‰Î/ur$]ù#uŽó Î)$ydqè=ä.ù's?wur,
Janganlah kamu ambil harta anak yatim dan janganlah pula kamu memakan atau
mempergunakannya secara boros, tidak efisien dan cepat-cepat menghabiskannya
sebelum anak tersebut mencapai umur(janganlah memberikan harta kepada anak
yatin secara boros). Mengenai penggunaan
harta anak yatim dengan tidak boros dan tidak cepat-cepat dihabiskan sesebelum
anak sampai umur, Allah telah menerangkan hukumnya dengan firmannya, yang
artinya,”Barang siapa cukup mampu (diantara kamu), maka hendaklah memelihara
diri dari menggunakan harta-harta anak yatim. Dan barang siapa tidak mampu
(diantara kamu), maka hendaklah menggunakan secara makruf (sesuai kepentingan
dan wajar).[13]
c.
( Å$rá÷èyJø9$$Î/@ä.ù'uŠù=sù#ZŽÉ)sùb%x.`tBur ô#Ïÿ÷ètGó¡uŠù=sù $|‹ÏYxîtb%x.`tBur
Sama dengan
keterangan diatas, diterangkan lebih
jelas bahwa maksud dari ayat ini adalah
barang siapa diantara kalian berkecukupan sehingga tidak membutuhkan sesuatu
pun dari harta anak yatim yang berada dalam kekuasaannya, hendaknya mencegah
diri dari memakan harta tersebut.[14] Ibn
Jarir berkata: para ulama sepakat
bahwa harta anak yatim bukanlah harta wali. Oleh karena itu wali tidak boleh
memakannya. Yang dibolehkan adalah meminjamnya saat ada keperluan. Boleh juga
mengambil sebagai upah dengan kadar yang layak untuk pengurusan dan pelayanan
atas harta tersebut.[15]
d.
öNÍköŽn=tæöNçlm;ºuqøBr& (#r߉Íkôr'sù NÍköŽs9Î)NçF÷èsùyŠ#sŒÎ*sù,
Jika kamu para wali dan orang-orang yang diberi wasiat menyerahkan harta yang
dititipkan kepada kalian kepada anak-anak yatim, maka adakanlah kesaksian dalam
serah terima dan pembebasan tanggunganmu atas harta tersebut, agar kelak tidak
terjadi persengketaan diantara kalian yang bersangkutan. Kesaksian itu menurut
madzhab imam syafi’i dan maliki, hukumnya wajib. Sebab mengabaikan hal itu akan
membuka pintu persengketaan dan peradilan seperti banyak kita saksikan.
Sedangkan madzhab hanafiah berpendapat hanya sunah saja bukan wajib.[16]
e.
$Y7ŠÅ¡ym «!$$Î/ ‘xÿx.ur, Allah
cukup menjadi pengawas atas perbuatanmu, yang akan menbuat perhitungan terhadap
apa yang kau rahasiakan dan apa yang kau lahirkan. Karena itu perhatikanlah dia
karena tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi-Nya, baik yang dibumi atau
dilangit.[17]
KESIMPULAN
A. Q.S al-Nisa’
ayat 5-6
rلاَ (#qè?÷sè?
uä!$ygxÿ¡9$#
ãNä3s9ºuqøBr&
ÓÉL©9$#
Ÿ@yèy_
ª!$#
ö/ä3s9
$VJ»uŠÏ%
öNèdqè%ã—ö‘$#ur
$pkŽÏù
öNèdqÝ¡ø.$#ur
(#qä9qè%ur
öNçlm;
Zwöqs%
$]ùrâ÷ê¨B
ÇÎÈ (#qè=tGö/$#ur
4’yJ»tGuŠø9$#
#Ó¨Lym
#sŒÎ)
(#qäón=t/
yy%s3ÏiZ9$#
÷bÎ*sù
Läêó¡nS#uä
öNåk÷]ÏiB
#Y‰ô©â‘
(#þqãèsù÷Š$$sù
öNÍköŽs9Î)
öNçlm;ºuqøBr&
( Ÿwur
!$ydqè=ä.ù's?
$]ù#uŽó Î)
#·‘#y‰Î/ur
br&
(#rçŽy9õ3tƒ
4 `tBur
tb%x.
$|‹ÏYxî
ô#Ïÿ÷ètGó¡uŠù=sù
( `tBur
tb%x.
#ZŽÉ)sù
ö@ä.ù'uŠù=sù
Å$rá÷èyJø9$$Î/
4 #sŒÎ*sù
öNçF÷èsùyŠ
öNÍköŽs9Î)
öNçlm;ºuqøBr&
(#r߉Íkôr'sù
öNÍköŽn=tæ
4 4‘xÿx.ur
«!$$Î/
$Y7ŠÅ¡ym
ÇÏÈ
B. Munasabah
Pada
akhir surat al-Imran, Allah memerintahkan umat islam untuk bertaqwa, dan
perintah untuk bertaqwa ini dipertegas kembali dalam surat al-Nisa’ khususnya
pada ayat 1. Setelah ada perintah agar manusia selalu bertaqwa kepada-Nya
dengan memelihara dan melaksanakan
segala apa yang diperintahkan-Nya, serta menghubungkan silaturahmi, maka pada ayat
2 dan ayat berikutnya yaitu ayat 5-6 Allah memerintahkan untuk menjaga anak
harta anak yatim.
C.
Kandungan
hukum Q.S al-Nisa’
·
Kandungan secara global dari QS. Al-Nisa’ pada ayat 5:
1. Dilarang menyerahkan harta anak yatim
selama dia masih dalam keadaan belum dapat mengelola harta dengan baik meskipun
ia telah baligh.
2. Jika orang tua dari anak itu meninggal,
maka hendaknya pengelola harta tersebut mengelola dan mengembangkan harta
tersebut. Kemudian keuntungannya menjadi hak anak tersebut.
3. Wajib bagi para wali untuk menyampaikan
kepada orang yang dalam pengampuannya bahwa biaya hidup mereka diambil dari
harta mereka sendiri an bahwa suatu saat harta itu akan diserahkan kepadanya
secara keseluruhan.
· . Kandungan secara global dari QS.
Al-Nisa’ pada ayat 6:
4. Jika anak yatim telah dewasa, maka untuk
dapat menyerahkan harta tersebut wali wajib
menguji terlebih dahulu kecakapannya/kecerdasannya dalam mengelola harta.
5. Harus ada saksi yang menyaksikan serah
terima harta anak yatim.
6. Bagi wali yang mampu, dilarang ikut
memakan harta anak yatim. Sedangkan bagi yang tidak mampu diperkenankan mengambil
harta tersebut sekedar keperluan dan tidak berlebihan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghy,
Ahmad Mustofa. Tafsir
Al-Maraghy juz IV. Semarang: Toha Putra, 1990.
Ar
Rifa’i, Muhammad Nasib. Tafsir Ibn Katsir. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
ash-Shiddieqy,
Teungku Muhammad Hasbi. Tafsir Al-Qur’An-Nur Juz IV. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000.
Departemen
Agama RI. Al-Qur’an Bayan. Jakarta :Al-Qur’an Terkemuka, 2009
Departemen
Agama RI. al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Departeman Agama RI, 2009.
Departemen
Agama RI. Al-Qur’an
Terjemah per kata. Jakarta : Darus Sunah, 2011.
[1]
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an Bayan (Jakarta :Al-Qur’an Terkemuka, 2009), 77.
[2]
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an Terjemah per kata (Jakarta : Darus Sunah,
2011), 116-119.
[3]
Ahmad Mustofa
Al-Maraghy, Tafsir Al-Maraghy juz IV (Semarang: Toha Putra, 1990),
334-335.
[4] Departemen
Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta:
Departeman Agama RI, 2009), 118.
[5] Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’An-Nur Juz IV (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2000), 783.
[6] Ar Rifa’i,
Muhammad Nasib, Tafsir Ibn Katsir (Jakarta: Gema Insani Press, 1999),
652.
[7] Teungku, Majid
An-Nuur,784.
[8]
Ahmad Mustofa
Al-Maraghy, Tafsir Al-Maraghy juz IV , 339.
[9]
Ar Rifa’i, Tafsir
Ibn Katsir,653.
[10] Musthofa, al-Maraghy,340.
[11]
Teungku, Majid
An-Nuur,785.
[12] Ibid.
[13]
Teungku, Majid
An-Nuur,786.
[14]
Musthofa, al-Maraghy,342.
[15]
Teungku, Majid
An-Nuur,786.
[16] Ibid, 343.
[17]
Teungku, Majid
An-Nuur,787.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar