Selasa, 02 April 2013

BAITUL MAL WA TAMWIL


BAITUL MAL WAl TAMWIL (BMT)
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
BMT (Baitul Mal Wal Tamwil) merupakan salah satu lembaga ekonomi dan keuangan yang dikenal luas pada masa-masa awal. Bait al Maal yang berkembang pada masa-masa awal kejayaan islam berfungsi sebagai instintusi keuangan publik, yang oleh sebagian pengamat ekonomi disejajarka dengan lembaga yang menjalankan fungsi perekonomian modern, ban sentral. Lembaga keuangan publik ini berhubungan dengan ketentuan, pemeliharaan, dan pembayaran dari sumber-sumber yang dibutuhkan untuk memenuhi fungsi-fungsi publik dan pemerintahan.
Lembaga ini brekembang bersamaan dengan pengembangan masyarakat muslim dan pembentukan negara islam oleh Rasulullah kala itu. Landasan keberadaan institusi keuangan publik secara normatif adalah adanya anjuran al-Qur’a untuk menyantuni orang miskin secara suka rela.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian BMT?
2.      Apa Saja Sumber- sumber keuangan BMT?
3.      Apa Fungsi dan Tujuan BMT?
4.      Apa Prinsip Dari BMT?
5.      Apa Visi dan Misi BMT?
6.      Bagaimana Operasional BMT?





PEMBAHASAN
A.    Pengertian BMT
BMT merupakan kependekan dari Baitul Mal Wa Tamwil. Secara loghowi Baitul Maal berarti rumah dana dan Baitul Tamwil berarti rumah usaha.[1]
Jadi Baitul mal Wa Tamwil adalah balai usaha mandiri yang isisnya  berintikan bayt al-mal wa al-tamwil dengan kegiatan mengembangkan usaha-usaha produktifdan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi pengusaha kecil bawah dan kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya.[2]
Pada praktenya istilah baitul mal wa tamwil ditafsirkan sebagai lembaga yang memiliki dua pengertian dan dua fungsi, yaitu:
a.       Baitul Mal (Baitu=Rumah, Maal=Harta), diartikan bahwa BMT adalah sebagai rumah harta merupakan lembaga yang dapat menerima titipan dana ZIS serta mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya.[3] jadi istilah maal disini berarti dana-dana atau harta sosial yaitu: ZISWAHIB.
b.      Baitut Tamwil (Baitut=rumah, Tamwil=pengembangan harta). Diartikan sebagai lembaga yang dapat melakukan kegiatan pengembangan usaha-usaha produktif dan investasi, dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan kecil terutama dengan mendororng kegiatan menabung dan menunjang pembiayan kegiatan ekonominya.[4]


B.     Sumber-sumber Keuangan BMT
Bait mal pada masa ini berfungsi untuk memobolisasikan berbagai pendapatan umat yang berasal dari berbagai sumber. Menurut Irfan Mahmud Ra’anah beberapa sumber zakat yang digunakan untuk berbagai pembelanjaan sesuai dengan kebutuhan masyarakat adalah sebagai berikut:[5]
1.      Zakat dan Shadaqah
Zakat merupakan sumber utama dan terpentinag dari penerimaan negara, pada awall pemerintahan islam.
2.      Jizya (Jaminan keamanan)
Jizyah adalah harta kekayaan yang harus dibayar oleh non muslim khususnya ahli kitab, unutk jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah dan tidaka wajib militer.
3.      Kharaj
Kharaj adalah  pajak tanah yang dipungut kepada non-Muslim ketika khabar ditaklukkan. Kharaj  adalah semacam pajak bumi dari tanah yang diperoleh setelah peperangan kemudian menjadi milik bait al maal yang pengelolaannya diserahkan kepada orang-orang muslim untuk diambil manfaatnya dan unutk kemaslahatan umum.
4.      Fay’
Fay’  diperoleh dari barang yang dirampas dari orang-orang yang tidak beriman yang takluk (menyerah) dalam perang. Fay’  menjadi salah satu pos pemasukan atau sumber penerimaan dari negara islam dan sumber pembiayaan negara.
5.      Ushur
Ushur  adalah retribusi atau bea cukai atas barang impor yang dikenakan kepada semua pedagang, dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya beralaku bagi barang yang nilainya lebih dari 200 dirham.



C.    Fungsi dan Tujuan BMT
Baitul Maal Wa Tamwil memiliki beberapa fungsi, yaitu sebagai berikut:[6]
1.    Menghimpun dan menyalurkan dana.
2.    Pencipta dan pemberi liquiditas, dapat menciptakan alat pembayaran yang sah yang mampu memberikan kemampuan untuk memenuhi kewajiban suatu lembaga atau perorangan.
3.    Sumber pendapatan.
4.    Pemberi informasi, memberi informasi kepada masyarakat mengenai resiko keuntungan dan peluang yang ada pada lembaga tersebut.
5.    Sebagai satu lembaga keuangan mikro islam yang dapat memberikan pembiayaan bagi usaha kecil, mikro, menengah dan juga koperasi dengan kelebihan tidak meminta jaminan yang memberatkan bagi UMKMK tersebur.
6.    Mengidentifikasi, memoobilisasi dan mengorganisasi, mendorong dan mengembangkan potensi serta kemampuan potensi ekonomi anggota, kelompok anggota  mu’amalat atau daerah kerjanya.
7.    Menggalang dan memobolisasi potensi masyarakat dalam rangka meningkatkan potensi kesejhateraan anggota dll.
Sedangkan tujuan dari BMT itu sendiri adalah meningkatkan kualitas usaha ekonomi untuk kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

D.    Prinsip Utama BMT
Dalam melaksanakan usahanya BMT berpegang teguh pada prinsip utama sebagai berikut:
1.      Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT dengan mengimplementasikannya pada prinsip-prinsip Syri’ah dan mu’amalah islam kedalam kehidupan nyata.
2.      Keterpaduan, yakni nilai-nilai spritual dan moral menggerakkan dan mengarahkan etika bisnis yang dinamis, proaktif, progresif adil dan berakhlaq mulia.
3.      Kekluargaan, yaitu mengutamakan kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi.
4.      Kebersamaan, yaitu kesatuan pola pikir.
5.      Kemandirian, yaitu mandiri diatas semua golongan politik.
6.      Profesionalisme, yaitu semangat kerja yang tinggi.[7]

E.     Visi dan Misi BMT
Visi BMT adalah mewujudkan masyarakat disekitar BMT yang selamat, damai dan sejahtaera dengan mengembangkan lembaga dan usaha BMT dan POKUSMA (Kelompok Usaha Mu’amalah) yang maju berkembang, terpercaya, aman, nyaman, transparan dan kehati-hatian.
sedangkan Misi BMT adalah mengembangkan POKUSMA dan BMT yang maju dan berkembang, aman, nyaman, terpercaya, trasparan dan kehati-hatian sehingga terwujud kualitas masyarakat disekitar BMT yang selamat, damai dan sejahtera.[8]

F.     Operasionalisasi Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)
Kegiatan dalam aspek jasa keuangan ini pada prinsipnya sama dengan yang dikembangkan oleh lembaga ekonomi dan keuangan lain berupa penghimpunan dan penyaluran dana dari dan kepada masyarakat. Dalam fungsi ini BMT disamakan dengan sistem perbankan atau lembaga keuangan yang mendasarkan kegiatannya dengan syari’at islam. Demikian juga instrumen yang dipakai untuk kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana dari dan kepada masyarakat. Dalam sektor riil, pada dasarnya kegiatan sektor riil juga merupakan bentuk penyaluran dana BMT. Penyaluran dana pada sektor riil bersifat permanen atau jangka panjang dan terdapat unsur kepemilikan didalamnya. Penyaluran dana ini selanjutnya disebut investasi atau penyertaan. Investasi yang dilakukan BMT dapat dengan mendirikan usaha baru atau dengan masuk keusaha yang sudah ada dengan membeli saham.[9]
Sedangkan kegiatan ketiga BMT adalah kegiatan sosial ZISWA BMT. Kegiatan ini merupakan kekuatan jantung BMT. Dengan kegiatan ini BMT sebenarnya memaunkan peran yang tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga berperan dalam penbinaan agama bagi para nasabah sektor jasa keungan BMT. Selain itu, dengan kegiatan ini BMT juga diharapkann turut memperkuat sektor sosial terutama bagi anggotanya dengan menyalurkan ZISnya kepada BMT.







[1] Muhammad  Ridwan,  Menejemen Baitul Maal Wa Tamwil (Yogyakarta: UII Press, 2004), 126.
[2] Ibid.
[3] Rifqi Muhammad, Akuntansi Keuangan Syari’ah, Konsep dan Implementasi PSAK Syari’ah (Yogyakarta: P3EI Press, 2008), 35.
[4] Ibid., 116.
[5] Muhammmad,  Lembaga Ekonomi Syari’ah (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), 56-58.
[6] Nurul Huda, Muhammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam, Tinjaun theoritis dan Praktis (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 363-364.
[7] Muhammad Ridwan, Menejemen Baitul Maal WA Tamwil, 130.
[8] Abdul Aziz, Mariyah Ulfah, Kepita Selekta Ekonomi IslamKontenporer (Bandung: Alfabeta, 2010), 118.
[9] Muhammmad,  Lembaga Ekonomi Syari’ah, 61.

PEGADAIAN SYARIAH


PEGADAIAN SYAR’AH

A.    Konsep Dasar Gadai

Perjanjian gadai dalam islam disebut Rahn, yaitu perjanjian menahan suatu barang sebagai jaminan utang.[1] Gadai dalam bahasa arab juga dapat disebut Rahn. Secara bahasa rahn berarti: tetap dan lestari, seperti juga dinamai al-habsu, artinya penahanan.[2]
Sedangkan secara terminologi Ulama mendefinisikannya sebagai berikut:
1.    Menurut Sayyid Sabiq, ar-Rahn adalah menjadikan barang berharga menurut pandangan syara’ sebagai jaminan utang.
2.    Menurut Muhammad Rawwas Qal’ahji berpendapat bahwa al-Rahn adalah menguatkan utang dengan jaminan utang.
3.    Menurut Masjfuq Zuhdi, al-Rahn adalah perjanjian atau akad pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.
4.      Menurut Nasrun Haroen al-Rahn adalah menjadikan suatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak piutang yang mungkin dijadikan sebadai pembayaran hak piutang itu, baik keseluruhannya atau sebagiannya.[3]
Dari keempat definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Rahn merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang.[4]

B.     Dasar Hukum
Pegadaian Syariah hukumnya adalah  jaiz (boleh), sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an, as-Sunah, dan Ijma’. Sebagaimana uraian dibawah ini:
1.      Dalil dari al-Qur’an
Surat al-Baqarah ayat 283 yang berbunyi sebagai berikut: “jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utang) dan hendaklah ia bertaqwa kepad Allah”.[5]
2.      Dalil dari as-Sunah
Rasulullah pernah menggadaikan baju besinya kepada orang yahudi untuk ditukar dengan gandum. Lalu orang yahudi berkata: “Sungguh Muhammad ingin membawa lari hartaku”. Raslullah kemudian menjawab:” bohong! Sesungguhnya aku adalah orang yang jujur diatas bumi ini dan dilangit. Jika kamu berikan amanat kepadaku pasti aku tunaikan. Pergilah kalian dengan baju besiku menemuinya (HR. Bukhari).
3.      Ijma’ Ulama’
Pada dasarnya para ulama’ telah sepakat bahwagadai itu boleh. Para ulama’ tidak pernah mempertentangkan kebolehannya demikian pula landasan hukumnya. Jumhur  ulama’ berpendapat bahwa gadai disyariatkan pada waktu tidak bepergian maupun pada waktu bepergian.[6]

C.    Rukun dan Syarat Gadai
Sebagai sebuah bentuk transaksi muamalah, Rahn dalam fiqh islam memiliki rukun dan syarat yang mengikat keabsahan legalitasnya.[7] Syarat dan rukun tersebut diantaranya:
1.      Orang nyang berakad (rahn dan murtahin).
Dengan Syarat orang yang berakad adalah cakap bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum menurut jumhur ulama adalah orang yang telah baligh dan berakal. Sedangkan menurut ulama hanafiah kedua belah pihak yang berakad tidak disyaratkan baligh, tetapi cukup berakal saja. Oleh karena itu, menurut mereka anak kecil yang mumayyiz boleh melakukan akad Rahn asal mendapat persetujuan dari walinya.
2.      Sighat (ijab qobul).
Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentudan juga dengan waktu dimasa mendatang. Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian hutang seperti halnya akad jual beli, maka tidak boleh diikat dengan syarat tertentu atau dengan pada suatu waktu tertentu atau dengan waktu di masa depan.[8]
3.      Utang (mahun bih).
Syarat yang terkait dengan hutang adalah sebagai berikut:
a.     Merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada yang memberi hutang.
b.     Hutang itu boleh dilunasi dengan jaminan.
c.     Hutang itu jelas dan tertentu.
4.      Harta yang dijadikan jaminan (marhun).
Sedangkan syarat yang terkait dengan barang yang dijadikan barang jaminan, menurut ulama fiqih syaratnya adalah sebagai berikut:
a.     Barang itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan hutang.
b.    Berharga dan boleh dimanfaatkan.
c.    Jelas dan tertetu.
d.   Milik sah orang yang berhutang.
e.    Tidak terkait dengan hak orang lain.
f.     Merupakan harta utuh dan boleh diserahkan baik materinya maupun manfaatnya.
D.    Pemanfaatan barang gadai
Gadai (Rahn) pada dasarnya bertujuan meminta kepercayaan dan menjamin hutang. Hal ini untuk menjaga jika penggadai tidak mampu atau tidak menepati janjinya, bukan untuk mencari keuntungan.  Namun, para ulama’ sepakat mengatakan bahwa barang yang digadaikan tidak boleh dibiarkan begitu saja, tanpa menghasilkan sama sekali, karena tindakan tersebut termasuk menyia-nyiakan harta. Akan tetapi, apakah boleh bagi murtahin memanfaatkan barang jaminan itu, sekalipun tidak mendapat izin dari pemilik barang. Dalam hal ini ada perbedaan pendapat diantara para ulama’:
1.      Ulama’ hanafiyah  berpendapat bahwa murtahin tidak berhak memanfaatkan barang gadaiaan, kecuali jika mendapat izin dari oarang yang menggadaikan (rahin), begitu juga sebaliki harnya. Dengan alasan bahwa barang gadai harus tetap dikuasai murtahin selamanya. Pendapat ini senada dengan pendapat hanabilah, sebab manfaat pada barang gadai pada dasarnya termasuk rahn atau gadai.[9]
2.      Ulama’ syafi’iyah berpendapat bahwa rahin boleh untuk memanfaatkan barang gadai, asalakan tidak menyebabkan barang gadai tersebut berkurang, serta tidak perlu meminta izin kepada murtahin terlebih dahulu.
3.      Jumhur ulama selain hanabilah berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan barang gadai, kecuali bila rahin tidak mau membiayai barng gadai tersebut. Dalam hal ini murtahin diperbolehkan mengambil manfaat sekedar untuk mengganti ongkos pembiayaan.
4.      Ulama hanabilah berpendapat bahwa murtahin boleh memanfaatkan barang gadai jika berupa kendaraan atau hewan, seperti mengendarainya.[10]

E.     Penjualan Barang Gadai Setelah Jatuh Tempo
Sehubungan dengan gadai yang merupakan jaminan atas hutang dan jika jatuh temposedangkan penggadai tidak bisa melunasi hutangnya, maka pelunasan hutang bisa diambil dari barang gadaian tersebut. Dan pelunasan melalui penjualan barang gadai haruslah sesuai denganbesarnya tanggungan yang harus dipikul oleh penggadai. Artinya, jika setelah barang tersebut terjual  dan ternyata melebihi tanggungan penggadai, maka selebihnya menjadi hak penggadai.[11]

F.     Rusak dan Berakhirnya Barang Gadai
Menurut syafi’iyah jika barang gadai hilang dibawah penguasaan murtahin, maka murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali jika hilang atau rusaknya tersebut karena kelalaian atau disia-siakan. Sedangkan hanafiyah menyatakan bahwa murtahin yang memegang al-marhun menanggung resiko kerusakan al-marhun apabila al-marhun rusak atau hilang, baik karena lalai ataupun tidak.[12]

G.    Pelaksanaan Rahn dalam Operasional Bank Syariah
Pelaksanaan rahn pada prinsipnya sudah dilakukan oleh setipa diri masing-masing muslim. Sebab kegiatan hutang-piutang ini merupakan salah satu keperluan yang niscaya untuk dipenuhi seseorang dalam hidupnya ketika ia berada dalam kondisi ekonomi yang tidak mendukung. Sarnya Namun terlepas disadari atu tidaknya praktek semacam itu, pada dasarnya islam menganjurkan trasaksi hutang piutang yang dilakukan oleh setiap orang islam secara syari’ah. Seperti dalam bentuk al-qardhul hassan atau melakukan perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk mudharabah dengan tujuan utamanya adalah memenuhi kewajiban moral sebagi jaminan sosial.[13]
Dua bentuk perjanjian dalam rahn tersebut pada prinsipnya secara operasional dilakukan oleh bank-bank syari’ah. Kontrak rahn ini dalam praktek bank syari’ah dapat dilakukan melalui dua produk, yaitu produk pelengkap dan produk tersendiri.
Sebagai produk pelengkap rahn merupakan akad tambahan terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan bai al-murabahah. Bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi akad tersebut. Sedangkan sebagai produk tersendiri, rahn dipakai sebagai alternatif, terutama disejumlah negara-negara islam, termasuk diantaranya dimalaysia.
Penerapan prinsip rahn dalam praktek bank ini memilki beberapa manfaat, yaitu:
1.      Menjaga kemungkinan nasabah lalai atu bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan bank.
2.      Memberikan keamana bagi segenap penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika peminjam nasabah ingkar janji karena ada aset atau barang yang dipegang oleh bank.
3.      Jika rahn diperapkan dalam mekanisme pegadaiaan, maka sudah barang tentu akan sangat membantu saudara kiata yang kesulitan dana terutama di daerah-daerah.[14]

H.    Prospek Pegadaian Syari’ah
Dengan landasan konsep, prinsip, dan tekhnik transaksinya yang berbda dengan pegadaian konvensional (sistem bunga), prinsip pegadaian syari’ah memiliki daya jangkau yang lebih luas. Pegadian syari’ah dengan prinsip-prinsip islam bersifat universal, tidak hanya diperuntukan untuk orang-orang islam, melainkan untuk orang banyaktanpa tersekat oleh pperbedaan idiologi dn keyakinan.[15]
Seperti halnya lembaga ekonomi dan keuangan lain, pegadaian syariah dilihat dari kacamata analisis SWOT memiliki kekuatan, kelemahan, peluang, serta tantangan. Empat ranah tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Kekuatan (strength)
Sebagai sebuah lembaga keuangan yang relatif baru, pegadaian syariah mempunyai magnet yang kuatuntuk membangkitkan rasa ingin tahu masyarakat tentang apa dan bagaimana sesungguhnya pegadaian syariah. Kebaikan dan kebenaran yang terkadung didalam operasional pegadaian syari’ah terletak pada dua asek penting , yaitu aspek kemanusiaan dan ilahiah atau aspek material dan spiritual.
Aspek kemanusian terkait dengan keberadaan lembaga pegadaian syari’ah yang bermotifkan ta’awun orang yang kesulitan, yang memerlukan pemecahan masalah secara cepat dan mudah serta murah. Sedangkan aspek kedua terkaiy erat dengan aspek pertama dimana manusia dalam memenuhi hajatnya tidak disesuaikan dengan selera subjektifnya, misalnya menganggap halal sesuatu yang diharamkan oleh syari’at.[16]
2.    Kelemahan (weakness)
Mekipun pegadaian syari’ah memiliki peluang dan pangsa pasar yang luas dan prospektif, namun ia tidak lepas dari sejumlah kelemahan. Kelemahan-kelemahan itu, terutama muncul dari adanya anggapan menejemen bahwa semua individu yang terlibat didalamnya  dapat dipercayai. Kelemahan itu berakar dari:
·      Berprasangka baik kepada semua nasabah karena asumsi semua yang terlilbat adalah manusia-manusia jujur.
·      Memerlukan metode perhitungan yang rumit terutama dalam menghitung biaya yang diperbolehkan dan membagi laba untuk masyarakat-masyarakat kecil.
·      Konsep bagi hasil yang diterapkannya diterapkannya lebih banyak memerlukan tenaga profesional yang handal, yang memiliki wawasan dan pemahaman dalam bidang ekonomi dan syari’ah.
·      Memerlukan perangkat peraturan pelaksana untuk pembinaan dan pengawasan.
3.    Peluang (opportunity)
Dari segi peluang, pegadaian syariah memiliki jaringan kerja yang luas, yang ditandai dengan:
·       Kemitraan dengan lembaga-lembaga bisnis syari’ah lainnya.
·      Aktivitas ekonomi yang terus menerus dinamis sangat mendukung keberadaan pegadaian syari’ah.
·      Masyarakat indonesia khususnya yang beragama islam, masih banyak yang menganggap bahwa menerima dan/ atau menerima bunga adalah termasuk menghidup suburkan riba yang dilarang dalam agama islam.
·      Meningkatnya kesadaran beragama yang merupakan hasil pembangunan disektor agama memperbanyak jumlah perorangan, yayasan-yayasan, pondok pesantren, sekolah-sekolah agama, masjid-masjid dll, yang belum memanfaatkan jasa pegadaian yang sudah ada.
4.    Tantangan/ Ancaman (treatment)
Sebagai lembaga yang beroperasi atas dasar prinsip syari’ah, pegadaian syari’ah sudah barang tentumenghadapi berbagai tantangan. Tantangan utama lembaga ini adalah:
·         Dipahami sebagai eksklusivisme agama sehingga ada pihak yang akan menghalangi perkembangan pegadaian syari’ah.
·         Anggapan bagi hasil sama saja dengan bunga.
·         Sulitnya mengubah tradisi masyarakat yang sudah terbiasa dengan sistem bunga.
·         Merasa terusik kenikmatannya terutama bagi mereka yang cenderung mempertahankan status quo yang telah dinikmatinya selama puluhan tahun.[17]




[1] Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syari’ah (Jakarta: Salemba Diniah, 2003), 50.
 [2] Ismail Nawawi, fiqh mu’amalah, hukum ekonomi,bisnis dan sosial (Surabaya: Putra Media Nusantara, 2010), 333.
[3] Abdul Rahman Ghazaly dkk,  fiqih Mu’amalat (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), 265.
[4] Muhammad,  Pegadaian Syari’ah, 51.
[5] Sasli Rais, Pegadaian Syari’ah Konsep dan Sistem Operasional (Jakarta: UI-Press, 2005), 39-40.
[6] Muhammad, Pegadaian Syari’ah, 51-52.
[7]Muhammad, Lembaga Ekonomi Syari’ah (yogyakarta: graha Ilmu, 2007), 71.
[8] Ismail Nawawi, fiqh mu’amalah, 335-336.
[9] Abdul Rahman ghazaly dkk. Fiqh Mu’amalah (Jakarta: Kecana Prenada Media Group, 2010), 269.
[10] Ibid., 273.
[11] Ismail nawawi, fiqh mu’amalah, 343.
[12] Abdul Rahman ghazaly dkk,  Fiqh Mu’amalah, 273.
[13] Muhammad,  Lembaga Ekonomi Syari’ah, 72-73.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Ibid., 74.
[17] Ibid., 75-76.