Selasa, 02 April 2013

PEGADAIAN SYARIAH


PEGADAIAN SYAR’AH

A.    Konsep Dasar Gadai

Perjanjian gadai dalam islam disebut Rahn, yaitu perjanjian menahan suatu barang sebagai jaminan utang.[1] Gadai dalam bahasa arab juga dapat disebut Rahn. Secara bahasa rahn berarti: tetap dan lestari, seperti juga dinamai al-habsu, artinya penahanan.[2]
Sedangkan secara terminologi Ulama mendefinisikannya sebagai berikut:
1.    Menurut Sayyid Sabiq, ar-Rahn adalah menjadikan barang berharga menurut pandangan syara’ sebagai jaminan utang.
2.    Menurut Muhammad Rawwas Qal’ahji berpendapat bahwa al-Rahn adalah menguatkan utang dengan jaminan utang.
3.    Menurut Masjfuq Zuhdi, al-Rahn adalah perjanjian atau akad pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.
4.      Menurut Nasrun Haroen al-Rahn adalah menjadikan suatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak piutang yang mungkin dijadikan sebadai pembayaran hak piutang itu, baik keseluruhannya atau sebagiannya.[3]
Dari keempat definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Rahn merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang.[4]

B.     Dasar Hukum
Pegadaian Syariah hukumnya adalah  jaiz (boleh), sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an, as-Sunah, dan Ijma’. Sebagaimana uraian dibawah ini:
1.      Dalil dari al-Qur’an
Surat al-Baqarah ayat 283 yang berbunyi sebagai berikut: “jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utang) dan hendaklah ia bertaqwa kepad Allah”.[5]
2.      Dalil dari as-Sunah
Rasulullah pernah menggadaikan baju besinya kepada orang yahudi untuk ditukar dengan gandum. Lalu orang yahudi berkata: “Sungguh Muhammad ingin membawa lari hartaku”. Raslullah kemudian menjawab:” bohong! Sesungguhnya aku adalah orang yang jujur diatas bumi ini dan dilangit. Jika kamu berikan amanat kepadaku pasti aku tunaikan. Pergilah kalian dengan baju besiku menemuinya (HR. Bukhari).
3.      Ijma’ Ulama’
Pada dasarnya para ulama’ telah sepakat bahwagadai itu boleh. Para ulama’ tidak pernah mempertentangkan kebolehannya demikian pula landasan hukumnya. Jumhur  ulama’ berpendapat bahwa gadai disyariatkan pada waktu tidak bepergian maupun pada waktu bepergian.[6]

C.    Rukun dan Syarat Gadai
Sebagai sebuah bentuk transaksi muamalah, Rahn dalam fiqh islam memiliki rukun dan syarat yang mengikat keabsahan legalitasnya.[7] Syarat dan rukun tersebut diantaranya:
1.      Orang nyang berakad (rahn dan murtahin).
Dengan Syarat orang yang berakad adalah cakap bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum menurut jumhur ulama adalah orang yang telah baligh dan berakal. Sedangkan menurut ulama hanafiah kedua belah pihak yang berakad tidak disyaratkan baligh, tetapi cukup berakal saja. Oleh karena itu, menurut mereka anak kecil yang mumayyiz boleh melakukan akad Rahn asal mendapat persetujuan dari walinya.
2.      Sighat (ijab qobul).
Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentudan juga dengan waktu dimasa mendatang. Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian hutang seperti halnya akad jual beli, maka tidak boleh diikat dengan syarat tertentu atau dengan pada suatu waktu tertentu atau dengan waktu di masa depan.[8]
3.      Utang (mahun bih).
Syarat yang terkait dengan hutang adalah sebagai berikut:
a.     Merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada yang memberi hutang.
b.     Hutang itu boleh dilunasi dengan jaminan.
c.     Hutang itu jelas dan tertentu.
4.      Harta yang dijadikan jaminan (marhun).
Sedangkan syarat yang terkait dengan barang yang dijadikan barang jaminan, menurut ulama fiqih syaratnya adalah sebagai berikut:
a.     Barang itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan hutang.
b.    Berharga dan boleh dimanfaatkan.
c.    Jelas dan tertetu.
d.   Milik sah orang yang berhutang.
e.    Tidak terkait dengan hak orang lain.
f.     Merupakan harta utuh dan boleh diserahkan baik materinya maupun manfaatnya.
D.    Pemanfaatan barang gadai
Gadai (Rahn) pada dasarnya bertujuan meminta kepercayaan dan menjamin hutang. Hal ini untuk menjaga jika penggadai tidak mampu atau tidak menepati janjinya, bukan untuk mencari keuntungan.  Namun, para ulama’ sepakat mengatakan bahwa barang yang digadaikan tidak boleh dibiarkan begitu saja, tanpa menghasilkan sama sekali, karena tindakan tersebut termasuk menyia-nyiakan harta. Akan tetapi, apakah boleh bagi murtahin memanfaatkan barang jaminan itu, sekalipun tidak mendapat izin dari pemilik barang. Dalam hal ini ada perbedaan pendapat diantara para ulama’:
1.      Ulama’ hanafiyah  berpendapat bahwa murtahin tidak berhak memanfaatkan barang gadaiaan, kecuali jika mendapat izin dari oarang yang menggadaikan (rahin), begitu juga sebaliki harnya. Dengan alasan bahwa barang gadai harus tetap dikuasai murtahin selamanya. Pendapat ini senada dengan pendapat hanabilah, sebab manfaat pada barang gadai pada dasarnya termasuk rahn atau gadai.[9]
2.      Ulama’ syafi’iyah berpendapat bahwa rahin boleh untuk memanfaatkan barang gadai, asalakan tidak menyebabkan barang gadai tersebut berkurang, serta tidak perlu meminta izin kepada murtahin terlebih dahulu.
3.      Jumhur ulama selain hanabilah berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan barang gadai, kecuali bila rahin tidak mau membiayai barng gadai tersebut. Dalam hal ini murtahin diperbolehkan mengambil manfaat sekedar untuk mengganti ongkos pembiayaan.
4.      Ulama hanabilah berpendapat bahwa murtahin boleh memanfaatkan barang gadai jika berupa kendaraan atau hewan, seperti mengendarainya.[10]

E.     Penjualan Barang Gadai Setelah Jatuh Tempo
Sehubungan dengan gadai yang merupakan jaminan atas hutang dan jika jatuh temposedangkan penggadai tidak bisa melunasi hutangnya, maka pelunasan hutang bisa diambil dari barang gadaian tersebut. Dan pelunasan melalui penjualan barang gadai haruslah sesuai denganbesarnya tanggungan yang harus dipikul oleh penggadai. Artinya, jika setelah barang tersebut terjual  dan ternyata melebihi tanggungan penggadai, maka selebihnya menjadi hak penggadai.[11]

F.     Rusak dan Berakhirnya Barang Gadai
Menurut syafi’iyah jika barang gadai hilang dibawah penguasaan murtahin, maka murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali jika hilang atau rusaknya tersebut karena kelalaian atau disia-siakan. Sedangkan hanafiyah menyatakan bahwa murtahin yang memegang al-marhun menanggung resiko kerusakan al-marhun apabila al-marhun rusak atau hilang, baik karena lalai ataupun tidak.[12]

G.    Pelaksanaan Rahn dalam Operasional Bank Syariah
Pelaksanaan rahn pada prinsipnya sudah dilakukan oleh setipa diri masing-masing muslim. Sebab kegiatan hutang-piutang ini merupakan salah satu keperluan yang niscaya untuk dipenuhi seseorang dalam hidupnya ketika ia berada dalam kondisi ekonomi yang tidak mendukung. Sarnya Namun terlepas disadari atu tidaknya praktek semacam itu, pada dasarnya islam menganjurkan trasaksi hutang piutang yang dilakukan oleh setiap orang islam secara syari’ah. Seperti dalam bentuk al-qardhul hassan atau melakukan perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk mudharabah dengan tujuan utamanya adalah memenuhi kewajiban moral sebagi jaminan sosial.[13]
Dua bentuk perjanjian dalam rahn tersebut pada prinsipnya secara operasional dilakukan oleh bank-bank syari’ah. Kontrak rahn ini dalam praktek bank syari’ah dapat dilakukan melalui dua produk, yaitu produk pelengkap dan produk tersendiri.
Sebagai produk pelengkap rahn merupakan akad tambahan terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan bai al-murabahah. Bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi akad tersebut. Sedangkan sebagai produk tersendiri, rahn dipakai sebagai alternatif, terutama disejumlah negara-negara islam, termasuk diantaranya dimalaysia.
Penerapan prinsip rahn dalam praktek bank ini memilki beberapa manfaat, yaitu:
1.      Menjaga kemungkinan nasabah lalai atu bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan bank.
2.      Memberikan keamana bagi segenap penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika peminjam nasabah ingkar janji karena ada aset atau barang yang dipegang oleh bank.
3.      Jika rahn diperapkan dalam mekanisme pegadaiaan, maka sudah barang tentu akan sangat membantu saudara kiata yang kesulitan dana terutama di daerah-daerah.[14]

H.    Prospek Pegadaian Syari’ah
Dengan landasan konsep, prinsip, dan tekhnik transaksinya yang berbda dengan pegadaian konvensional (sistem bunga), prinsip pegadaian syari’ah memiliki daya jangkau yang lebih luas. Pegadian syari’ah dengan prinsip-prinsip islam bersifat universal, tidak hanya diperuntukan untuk orang-orang islam, melainkan untuk orang banyaktanpa tersekat oleh pperbedaan idiologi dn keyakinan.[15]
Seperti halnya lembaga ekonomi dan keuangan lain, pegadaian syariah dilihat dari kacamata analisis SWOT memiliki kekuatan, kelemahan, peluang, serta tantangan. Empat ranah tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Kekuatan (strength)
Sebagai sebuah lembaga keuangan yang relatif baru, pegadaian syariah mempunyai magnet yang kuatuntuk membangkitkan rasa ingin tahu masyarakat tentang apa dan bagaimana sesungguhnya pegadaian syariah. Kebaikan dan kebenaran yang terkadung didalam operasional pegadaian syari’ah terletak pada dua asek penting , yaitu aspek kemanusiaan dan ilahiah atau aspek material dan spiritual.
Aspek kemanusian terkait dengan keberadaan lembaga pegadaian syari’ah yang bermotifkan ta’awun orang yang kesulitan, yang memerlukan pemecahan masalah secara cepat dan mudah serta murah. Sedangkan aspek kedua terkaiy erat dengan aspek pertama dimana manusia dalam memenuhi hajatnya tidak disesuaikan dengan selera subjektifnya, misalnya menganggap halal sesuatu yang diharamkan oleh syari’at.[16]
2.    Kelemahan (weakness)
Mekipun pegadaian syari’ah memiliki peluang dan pangsa pasar yang luas dan prospektif, namun ia tidak lepas dari sejumlah kelemahan. Kelemahan-kelemahan itu, terutama muncul dari adanya anggapan menejemen bahwa semua individu yang terlibat didalamnya  dapat dipercayai. Kelemahan itu berakar dari:
·      Berprasangka baik kepada semua nasabah karena asumsi semua yang terlilbat adalah manusia-manusia jujur.
·      Memerlukan metode perhitungan yang rumit terutama dalam menghitung biaya yang diperbolehkan dan membagi laba untuk masyarakat-masyarakat kecil.
·      Konsep bagi hasil yang diterapkannya diterapkannya lebih banyak memerlukan tenaga profesional yang handal, yang memiliki wawasan dan pemahaman dalam bidang ekonomi dan syari’ah.
·      Memerlukan perangkat peraturan pelaksana untuk pembinaan dan pengawasan.
3.    Peluang (opportunity)
Dari segi peluang, pegadaian syariah memiliki jaringan kerja yang luas, yang ditandai dengan:
·       Kemitraan dengan lembaga-lembaga bisnis syari’ah lainnya.
·      Aktivitas ekonomi yang terus menerus dinamis sangat mendukung keberadaan pegadaian syari’ah.
·      Masyarakat indonesia khususnya yang beragama islam, masih banyak yang menganggap bahwa menerima dan/ atau menerima bunga adalah termasuk menghidup suburkan riba yang dilarang dalam agama islam.
·      Meningkatnya kesadaran beragama yang merupakan hasil pembangunan disektor agama memperbanyak jumlah perorangan, yayasan-yayasan, pondok pesantren, sekolah-sekolah agama, masjid-masjid dll, yang belum memanfaatkan jasa pegadaian yang sudah ada.
4.    Tantangan/ Ancaman (treatment)
Sebagai lembaga yang beroperasi atas dasar prinsip syari’ah, pegadaian syari’ah sudah barang tentumenghadapi berbagai tantangan. Tantangan utama lembaga ini adalah:
·         Dipahami sebagai eksklusivisme agama sehingga ada pihak yang akan menghalangi perkembangan pegadaian syari’ah.
·         Anggapan bagi hasil sama saja dengan bunga.
·         Sulitnya mengubah tradisi masyarakat yang sudah terbiasa dengan sistem bunga.
·         Merasa terusik kenikmatannya terutama bagi mereka yang cenderung mempertahankan status quo yang telah dinikmatinya selama puluhan tahun.[17]




[1] Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syari’ah (Jakarta: Salemba Diniah, 2003), 50.
 [2] Ismail Nawawi, fiqh mu’amalah, hukum ekonomi,bisnis dan sosial (Surabaya: Putra Media Nusantara, 2010), 333.
[3] Abdul Rahman Ghazaly dkk,  fiqih Mu’amalat (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), 265.
[4] Muhammad,  Pegadaian Syari’ah, 51.
[5] Sasli Rais, Pegadaian Syari’ah Konsep dan Sistem Operasional (Jakarta: UI-Press, 2005), 39-40.
[6] Muhammad, Pegadaian Syari’ah, 51-52.
[7]Muhammad, Lembaga Ekonomi Syari’ah (yogyakarta: graha Ilmu, 2007), 71.
[8] Ismail Nawawi, fiqh mu’amalah, 335-336.
[9] Abdul Rahman ghazaly dkk. Fiqh Mu’amalah (Jakarta: Kecana Prenada Media Group, 2010), 269.
[10] Ibid., 273.
[11] Ismail nawawi, fiqh mu’amalah, 343.
[12] Abdul Rahman ghazaly dkk,  Fiqh Mu’amalah, 273.
[13] Muhammad,  Lembaga Ekonomi Syari’ah, 72-73.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Ibid., 74.
[17] Ibid., 75-76.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar