PEGADAIAN SYAR’AH
A.
Konsep Dasar Gadai
Perjanjian gadai dalam islam disebut Rahn, yaitu perjanjian
menahan suatu barang sebagai jaminan utang.[1] Gadai
dalam bahasa arab juga dapat disebut Rahn. Secara bahasa rahn berarti: tetap
dan lestari, seperti juga dinamai al-habsu, artinya penahanan.[2]
Sedangkan secara terminologi Ulama mendefinisikannya sebagai
berikut:
1.
Menurut
Sayyid Sabiq, ar-Rahn adalah menjadikan barang berharga menurut
pandangan syara’ sebagai jaminan utang.
2.
Menurut
Muhammad Rawwas Qal’ahji berpendapat bahwa al-Rahn adalah menguatkan
utang dengan jaminan utang.
3.
Menurut
Masjfuq Zuhdi, al-Rahn adalah perjanjian atau akad pinjam-meminjam
dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.
4.
Menurut
Nasrun Haroen al-Rahn adalah menjadikan suatu (barang) sebagai jaminan
terhadap hak piutang yang mungkin dijadikan sebadai pembayaran hak piutang itu,
baik keseluruhannya atau sebagiannya.[3]
Dari keempat definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Rahn
merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai
nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan, sehingga orang yang
bersangkutan boleh mengambil utang.[4]
B.
Dasar Hukum
Pegadaian Syariah hukumnya adalah
jaiz (boleh), sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an, as-Sunah,
dan Ijma’. Sebagaimana uraian dibawah ini:
1.
Dalil
dari al-Qur’an
Surat al-Baqarah ayat 283 yang berbunyi sebagai berikut: “jika
kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utang) dan
hendaklah ia bertaqwa kepad Allah”.[5]
2.
Dalil
dari as-Sunah
Rasulullah pernah menggadaikan baju besinya kepada orang yahudi
untuk ditukar dengan gandum. Lalu orang yahudi berkata: “Sungguh Muhammad
ingin membawa lari hartaku”. Raslullah kemudian menjawab:” bohong! Sesungguhnya
aku adalah orang yang jujur diatas bumi ini dan dilangit. Jika kamu berikan
amanat kepadaku pasti aku tunaikan. Pergilah kalian dengan baju besiku
menemuinya (HR. Bukhari).
3.
Ijma’
Ulama’
Pada dasarnya para ulama’ telah sepakat bahwagadai itu boleh. Para
ulama’ tidak pernah mempertentangkan kebolehannya demikian pula landasan
hukumnya. Jumhur ulama’
berpendapat bahwa gadai disyariatkan pada waktu tidak bepergian maupun pada
waktu bepergian.[6]
C.
Rukun dan Syarat Gadai
Sebagai sebuah bentuk transaksi muamalah, Rahn dalam fiqh islam
memiliki rukun dan syarat yang mengikat keabsahan legalitasnya.[7]
Syarat dan rukun tersebut diantaranya:
1.
Orang
nyang berakad (rahn dan murtahin).
Dengan Syarat orang yang berakad adalah cakap bertindak hukum.
Kecakapan bertindak hukum menurut jumhur ulama adalah orang yang telah baligh
dan berakal. Sedangkan menurut ulama hanafiah kedua belah pihak yang berakad
tidak disyaratkan baligh, tetapi cukup berakal saja. Oleh karena itu, menurut
mereka anak kecil yang mumayyiz boleh melakukan akad Rahn asal mendapat
persetujuan dari walinya.
2.
Sighat
(ijab qobul).
Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentudan juga dengan
waktu dimasa mendatang. Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian
hutang seperti halnya akad jual beli, maka tidak boleh diikat dengan syarat
tertentu atau dengan pada suatu waktu tertentu atau dengan waktu di masa depan.[8]
3.
Utang
(mahun bih).
Syarat yang terkait dengan hutang adalah sebagai berikut:
a.
Merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada
yang memberi hutang.
b.
Hutang itu boleh dilunasi dengan jaminan.
c.
Hutang itu jelas dan tertentu.
4.
Harta
yang dijadikan jaminan (marhun).
Sedangkan syarat yang terkait dengan barang yang dijadikan barang
jaminan, menurut ulama fiqih syaratnya adalah sebagai berikut:
a.
Barang itu boleh dijual dan nilainya seimbang
dengan hutang.
b.
Berharga
dan boleh dimanfaatkan.
c.
Jelas
dan tertetu.
d.
Milik
sah orang yang berhutang.
e.
Tidak
terkait dengan hak orang lain.
f.
Merupakan
harta utuh dan boleh diserahkan baik materinya maupun manfaatnya.
D.
Pemanfaatan barang gadai
Gadai (Rahn) pada dasarnya bertujuan meminta kepercayaan dan
menjamin hutang. Hal ini untuk menjaga jika penggadai tidak mampu atau tidak
menepati janjinya, bukan untuk mencari keuntungan. Namun, para ulama’ sepakat mengatakan bahwa
barang yang digadaikan tidak boleh dibiarkan begitu saja, tanpa menghasilkan
sama sekali, karena tindakan tersebut termasuk menyia-nyiakan harta. Akan
tetapi, apakah boleh bagi murtahin memanfaatkan barang jaminan itu, sekalipun
tidak mendapat izin dari pemilik barang. Dalam hal ini ada perbedaan pendapat
diantara para ulama’:
1.
Ulama’
hanafiyah berpendapat bahwa murtahin
tidak berhak memanfaatkan barang gadaiaan, kecuali jika mendapat izin dari
oarang yang menggadaikan (rahin), begitu juga sebaliki harnya. Dengan alasan
bahwa barang gadai harus tetap dikuasai murtahin selamanya. Pendapat ini senada
dengan pendapat hanabilah, sebab manfaat pada barang gadai pada dasarnya
termasuk rahn atau gadai.[9]
2.
Ulama’
syafi’iyah berpendapat bahwa rahin boleh untuk memanfaatkan barang gadai,
asalakan tidak menyebabkan barang gadai tersebut berkurang, serta tidak perlu
meminta izin kepada murtahin terlebih dahulu.
3.
Jumhur
ulama selain hanabilah berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan
barang gadai, kecuali bila rahin tidak mau membiayai barng gadai tersebut.
Dalam hal ini murtahin diperbolehkan mengambil manfaat sekedar untuk mengganti
ongkos pembiayaan.
4.
Ulama
hanabilah berpendapat bahwa murtahin boleh memanfaatkan barang gadai jika
berupa kendaraan atau hewan, seperti mengendarainya.[10]
E.
Penjualan Barang Gadai Setelah Jatuh Tempo
Sehubungan dengan gadai yang merupakan jaminan atas hutang dan jika
jatuh temposedangkan penggadai tidak bisa melunasi hutangnya, maka pelunasan
hutang bisa diambil dari barang gadaian tersebut. Dan pelunasan melalui
penjualan barang gadai haruslah sesuai denganbesarnya tanggungan yang harus
dipikul oleh penggadai. Artinya, jika setelah barang tersebut terjual dan ternyata melebihi tanggungan penggadai,
maka selebihnya menjadi hak penggadai.[11]
F.
Rusak dan Berakhirnya Barang Gadai
Menurut syafi’iyah jika barang gadai hilang dibawah penguasaan
murtahin, maka murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali jika hilang atau
rusaknya tersebut karena kelalaian atau disia-siakan. Sedangkan hanafiyah
menyatakan bahwa murtahin yang memegang al-marhun menanggung resiko kerusakan
al-marhun apabila al-marhun rusak atau hilang, baik karena lalai ataupun tidak.[12]
G.
Pelaksanaan Rahn dalam Operasional Bank Syariah
Pelaksanaan rahn pada prinsipnya sudah dilakukan oleh setipa diri
masing-masing muslim. Sebab kegiatan hutang-piutang ini merupakan salah satu
keperluan yang niscaya untuk dipenuhi seseorang dalam hidupnya ketika ia berada
dalam kondisi ekonomi yang tidak mendukung. Sarnya Namun terlepas disadari atu
tidaknya praktek semacam itu, pada dasarnya islam menganjurkan trasaksi hutang
piutang yang dilakukan oleh setiap orang islam secara syari’ah. Seperti dalam
bentuk al-qardhul hassan atau melakukan perjanjian hutang piutang dengan gadai
dalam bentuk mudharabah dengan tujuan utamanya adalah memenuhi kewajiban moral
sebagi jaminan sosial.[13]
Dua bentuk perjanjian dalam rahn tersebut pada prinsipnya secara
operasional dilakukan oleh bank-bank syari’ah. Kontrak rahn ini dalam praktek
bank syari’ah dapat dilakukan melalui dua produk, yaitu produk pelengkap dan
produk tersendiri.
Sebagai produk pelengkap rahn merupakan akad tambahan terhadap
produk lain seperti dalam pembiayaan bai al-murabahah. Bank dapat
menahan barang nasabah sebagai konsekuensi akad tersebut. Sedangkan sebagai
produk tersendiri, rahn dipakai sebagai alternatif, terutama disejumlah
negara-negara islam, termasuk diantaranya dimalaysia.
Penerapan prinsip rahn dalam praktek bank ini memilki beberapa
manfaat, yaitu:
1.
Menjaga
kemungkinan nasabah lalai atu bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang
diberikan bank.
2.
Memberikan
keamana bagi segenap penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan
hilang begitu saja jika peminjam nasabah ingkar janji karena ada aset atau
barang yang dipegang oleh bank.
3.
Jika
rahn diperapkan dalam mekanisme pegadaiaan, maka sudah barang tentu akan sangat
membantu saudara kiata yang kesulitan dana terutama di daerah-daerah.[14]
H.
Prospek Pegadaian Syari’ah
Dengan landasan konsep, prinsip, dan tekhnik transaksinya yang berbda
dengan pegadaian konvensional (sistem bunga), prinsip pegadaian syari’ah
memiliki daya jangkau yang lebih luas. Pegadian syari’ah dengan prinsip-prinsip
islam bersifat universal, tidak hanya diperuntukan untuk orang-orang islam,
melainkan untuk orang banyaktanpa tersekat oleh pperbedaan idiologi dn
keyakinan.[15]
Seperti halnya lembaga ekonomi dan keuangan lain, pegadaian syariah
dilihat dari kacamata analisis SWOT memiliki kekuatan, kelemahan, peluang,
serta tantangan. Empat ranah tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Kekuatan
(strength)
Sebagai sebuah lembaga keuangan yang relatif baru, pegadaian
syariah mempunyai magnet yang kuatuntuk membangkitkan rasa ingin tahu
masyarakat tentang apa dan bagaimana sesungguhnya pegadaian syariah. Kebaikan
dan kebenaran yang terkadung didalam operasional pegadaian syari’ah terletak
pada dua asek penting , yaitu aspek kemanusiaan dan ilahiah atau aspek material
dan spiritual.
Aspek kemanusian terkait dengan keberadaan lembaga pegadaian
syari’ah yang bermotifkan ta’awun orang yang kesulitan, yang memerlukan
pemecahan masalah secara cepat dan mudah serta murah. Sedangkan aspek kedua
terkaiy erat dengan aspek pertama dimana manusia dalam memenuhi hajatnya tidak
disesuaikan dengan selera subjektifnya, misalnya menganggap halal sesuatu yang
diharamkan oleh syari’at.[16]
2.
Kelemahan
(weakness)
Mekipun pegadaian syari’ah memiliki peluang dan pangsa pasar yang
luas dan prospektif, namun ia tidak lepas dari sejumlah kelemahan.
Kelemahan-kelemahan itu, terutama muncul dari adanya anggapan menejemen bahwa
semua individu yang terlibat didalamnya
dapat dipercayai. Kelemahan itu berakar dari:
· Berprasangka baik kepada semua nasabah karena asumsi semua yang
terlilbat adalah manusia-manusia jujur.
· Memerlukan metode perhitungan yang rumit terutama dalam menghitung
biaya yang diperbolehkan dan membagi laba untuk masyarakat-masyarakat kecil.
· Konsep bagi hasil yang diterapkannya diterapkannya lebih banyak
memerlukan tenaga profesional yang handal, yang memiliki wawasan dan pemahaman
dalam bidang ekonomi dan syari’ah.
· Memerlukan perangkat peraturan pelaksana untuk pembinaan dan
pengawasan.
3.
Peluang
(opportunity)
Dari segi peluang, pegadaian syariah memiliki jaringan kerja yang
luas, yang ditandai dengan:
· Kemitraan dengan
lembaga-lembaga bisnis syari’ah lainnya.
· Aktivitas ekonomi yang terus menerus dinamis sangat mendukung
keberadaan pegadaian syari’ah.
· Masyarakat indonesia khususnya yang beragama islam, masih banyak
yang menganggap bahwa menerima dan/ atau menerima bunga adalah termasuk
menghidup suburkan riba yang dilarang dalam agama islam.
· Meningkatnya kesadaran beragama yang merupakan hasil pembangunan
disektor agama memperbanyak jumlah perorangan, yayasan-yayasan, pondok
pesantren, sekolah-sekolah agama, masjid-masjid dll, yang belum memanfaatkan
jasa pegadaian yang sudah ada.
4.
Tantangan/
Ancaman (treatment)
Sebagai lembaga yang beroperasi atas dasar prinsip syari’ah,
pegadaian syari’ah sudah barang tentumenghadapi berbagai tantangan. Tantangan
utama lembaga ini adalah:
·
Dipahami
sebagai eksklusivisme agama sehingga ada pihak yang akan menghalangi
perkembangan pegadaian syari’ah.
·
Anggapan
bagi hasil sama saja dengan bunga.
·
Sulitnya
mengubah tradisi masyarakat yang sudah terbiasa dengan sistem bunga.
·
Merasa
terusik kenikmatannya terutama bagi mereka yang cenderung mempertahankan status
quo yang telah dinikmatinya selama puluhan tahun.[17]
[1]
Muhammad
Sholikul Hadi, Pegadaian Syari’ah (Jakarta: Salemba Diniah, 2003), 50.
[3]
Abdul Rahman
Ghazaly dkk, fiqih Mu’amalat (Jakarta:
Prenada Media Group, 2010), 265.
[4]
Muhammad, Pegadaian Syari’ah, 51.
[5]
Sasli Rais, Pegadaian
Syari’ah Konsep dan Sistem Operasional (Jakarta: UI-Press, 2005), 39-40.
[6]
Muhammad, Pegadaian
Syari’ah, 51-52.
[7]Muhammad, Lembaga
Ekonomi Syari’ah (yogyakarta: graha Ilmu, 2007), 71.
[8] Ismail Nawawi,
fiqh mu’amalah, 335-336.
[9] Abdul Rahman ghazaly
dkk. Fiqh Mu’amalah (Jakarta: Kecana Prenada Media Group, 2010), 269.
[10] Ibid., 273.
[11] Ismail nawawi,
fiqh mu’amalah, 343.
[12]
Abdul Rahman
ghazaly dkk, Fiqh Mu’amalah, 273.
[13] Muhammad, Lembaga Ekonomi Syari’ah, 72-73.
[14] Ibid.
[15]
Ibid.
[16] Ibid., 74.
[17] Ibid., 75-76.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar